Tampilkan postingan dengan label Inspirasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Inspirasi. Tampilkan semua postingan
Rabu, 21 Desember 2011
Senin, 19 Desember 2011
Ketika Sri Sultan HB IX terkena tilang di Pekalongan
Kota batik Pekalongan di pertengahan tahun 1960an menyambut fajar dengan kabut tipis , pukul setengah enam pagi polisi muda Royadin yang belum genap seminggu mendapatkan kenaikan pangkat dari agen polisi kepala menjadi brigadir polisi sudah berdiri di tepi posnya di kawasan Soko dengan gagahnya. Kudapan nasi megono khas pekalongan pagi itu menyegarkan tubuhnya yang gagah berbalut seragam polisi dengan pangkat brigadir.
Becak dan delman amat dominan masa itu , persimpangan Soko mulai riuh dengan bunyi kalung kuda yang terangguk angguk mengikuti ayunan cemeti sang kusir. Dari arah selatan dan membelok ke barat sebuah sedan hitam ber plat AB melaju dari arah yang berlawanan dengan arus becak dan delman . Brigadir Royadin memandang dari kejauhan ,sementara sedan hitam itu melaju perlahan menuju kearahnya. Dengan sigap ia menyeberang jalan ditepi posnya, ayunan tangan kedepan dengan posisi membentuk sudut Sembilan puluh derajat menghentikan laju sedan hitam itu. Sebuah sedan tahun lima puluhan yang amat jarang berlalu di jalanan pekalongan berhenti dihadapannya.
Saat mobil menepi , brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi hormat.
“Selamat pagi!” Brigadir Royadin memberi hormat dengan sikap sempurna . “Boleh ditunjukan rebuwes!” Ia meminta surat surat mobil berikut surat ijin mengemudi kepada lelaki di balik kaca , jaman itu surat mobil masih diistilahkan rebuwes.
Perlahan , pria berusia sekitar setengah abad menurunkan kaca samping secara penuh.
“Ada apa pak polisi ?” Tanya pria itu. Brigadir Royadin tersentak kaget , ia mengenali siapa pria itu . “Ya Allah…sinuwun!” kejutnya dalam hati . Gugup bukan main namun itu hanya berlangsung sedetik , naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam sikap sempurna.
“Bapak melangar verbodden , tidak boleh lewat sini, ini satu arah !” Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Jogja, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dirinya tak habis pikir , orang sebesar sultan HB IX mengendarai sendiri mobilnya dari jogja ke pekalongan yang jauhnya cukup lumayan., entah tujuannya kemana.
Setelah melihat rebuwes , Brigadir Royadin mempersilahkan Sri Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan , namun sultan menolak.
“ Ya ..saya salah , kamu benar , saya pasti salah !” Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggengam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa.
“ Jadi…?” Sinuwun bertanya , pertanyaan yang singkat namun sulit bagi brigadir Royadin menjawabnya .
“Em..emm ..bapak saya tilang , mohon maaf!” Brigadir Royadin heran , sinuwun tak kunjung menggunakan kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya, jangankan begitu , mengenalkan dirinya sebagai pejabat Negara dan Rajapun beliau tidak melakukannya.
“Baik..brigadir , kamu buatkan surat itu , nanti saya ikuti aturannya, saya harus segera ke Tegal !” Sinuwun meminta brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang. Dengan tangan bergetar ia membuatkan surat tilang, ingin rasanya tidak memberikan surat itu tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi tidak boleh memandang beda pelanggar kesalahan yang terjadi di depan hidungnya. Yang paling membuatnya sedikit tenang adalah tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut sinuwun menyebutkan bahwa dia berhak mendapatkan dispensasi. “Sungguh orang yang besar…!” begitu gumamnya.
Surat tilang berpindah tangan , rebuwes saat itu dalam genggamannya dan ia menghormat pada sinuwun sebelum sinuwun kembali memacu Sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal.
Beberapa menit sinuwun melintas di depan stasiun pekalongan, brigadir royadin menyadari kebodohannya, kekakuannya dan segala macam pikiran berkecamuk. Ingin ia memacu sepeda ontelnya mengejar Sedan hitam itu tapi manalah mungkin. Nasi sudah menjadi bubur dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapapun berhasil menghibur dirinya.
Saat aplusan di sore hari dan kembali ke markas , Ia menyerahkan rebuwes kepada petugas jaga untuk diproses hukum lebih lanjut.,Ialu kembali kerumah dengan sepeda abu abu tuanya.
Saat apel pagi esok harinya , suara amarah meledak di markas polisi pekalongan , nama Royadin diteriakkan berkali kali dari ruang komisaris. Beberapa polisi tergopoh gopoh menghampirinya dan memintanya menghadap komisaris polisi selaku kepala kantor.
“Royadin , apa yang kamu lakukan ..sa’enake dewe ..ora mikir ..iki sing mbok tangkep sopo heh..ngawur..ngawur!” Komisaris mengumpat dalam bahasa jawa , ditangannya rebuwes milik sinuwun pindah dari telapak kanan kekiri bolak balik.
“ Sekarang aku mau Tanya , kenapa kamu tidak lepas saja sinuwun..biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia , ngerti nggak kowe sopo sinuwun?” Komisaris tak menurunkan nada bicaranya.
“ Siap pak , beliau tidak bilang beliau itu siapa , beliau ngaku salah ..dan memang salah!” brigadir Royadin menjawab tegas.
“Ya tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia ..ojo kaku kaku , kok malah mbok tilang..ngawur ..jan ngawur….Ini bisa panjang , bisa sampai Menteri !” Derai komisaris. Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.
Brigadir Royadin pasrah , apapun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi , yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja ..memang Koppeg(keras kepala) kedengarannya.
Kepala polisi pekalongan berusaha mencari tahu dimana gerangan sinuwun , masih di Tegalkah atau tempat lain? Tujuannya cuma satu , mengembalikan rebuwes. Namun tidak seperti saat ini yang demikian mudahnya bertukar kabar , keberadaa sinuwun tak kunjung diketahui hingga beberapa hari. Pada akhirnya kepala polisi pekalongan mengutus beberapa petugas ke Jogja untuk mengembalikan rebuwes tanpa mengikut sertakan Brigadir Royadin.
Usai mendapat marah , Brigadir Royadin bertugas seperti biasa , satu minggu setelah kejadian penilangan, banyak teman temannya yang mentertawakan bahkan ada isu yang ia dengar dirinya akan dimutasi ke pinggiran kota pekalongan selatan.
Suatu sore , saat belum habis jam dinas , seorang kurir datang menghampirinya di persimpangan soko yang memintanya untuk segera kembali ke kantor. Sesampai di kantor beberapa polisi menggiringnya keruang komisaris yang saat itu tengah menggengam selembar surat.
“Royadin….minggu depan kamu diminta pindah !” lemas tubuh Royadin , ia membayangkan harus menempuh jalan menanjak dipinggir kota pekalongan setiap hari , karena mutasi ini, karena ketegasan sikapnya dipersimpangan soko .
“ Siap pak !” Royadin menjawab datar.
“Bersama keluargamu semua, dibawa!” pernyataan komisaris mengejutkan , untuk apa bawa keluarga ketepi pekalongan selatan , ini hanya merepotkan diri saja.
“Saya sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di rumah sekarang !” Brigadir Royadin menawar.
“Ngawur…Kamu sanggup bersepeda pekalongan – Jogja ? pindahmu itu ke jogja bukan disini, sinuwun yang minta kamu pindah tugas kesana , pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat.!” Cetus pak komisaris , disodorkan surat yang ada digengamannya kepada brigadir Royadin.
Surat itu berisi permintaan bertuliskan tangan yang intinya : “ Mohon dipindahkan brigadir Royadin ke Jogja , sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin Jogjakarta akan menempatkannya di wilayah Jogjakarta bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat.” Ditanda tangani sri sultan hamengkubuwono IX.
Tangan brigadir Royadin bergetar , namun ia segera menemukan jawabannya. Ia tak sangup menolak permntaan orang besar seperti sultan HB IX namun dia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota pekalongan .Ia cinta pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota ini .
“ Mohon bapak sampaikan ke sinuwun , saya berterima kasih, saya tidak bisa pindah dari pekalongan , ini tanah kelahiran saya , rumah saya . Sampaikan hormat saya pada beliau ,dan sampaikan permintaan maaf saya pada beliau atas kelancangan saya !” Brigadir Royadin bergetar , ia tak memahami betapa luasnya hati sinuwun Sultan HB IX , Amarah hanya diperolehnya dari sang komisaris namun penghargaan tinggi justru datang dari orang yang menjadi korban ketegasannya.
July 2010 , saat saya mendengar kepergian purnawirawan polisi Royadin kepada sang khalik dari keluarga dipekalongan , saya tak memilki waktu cukup untuk menghantar kepergiannya . Suaranya yang lirih saat mendekati akhir hayat masih saja mengiangkan cerita kebanggaannya ini pada semua sanak family yang berkumpul. Ia pergi meninggalkan kesederhanaan perilaku dan prinsip kepada keturunannya , sekaligus kepada saya selaku keponakannya. Idealismenya di kepolisian Pekalongan tetap ia jaga sampai akhir masa baktinya , pangkatnya tak banyak bergeser terbelenggu idealisme yang selalu dipegangnya erat erat yaitu ketegasan dan kejujuran .
Hormat amat sangat kepadamu Pak Royadin, Sang Polisi sejati . Dan juga kepada pahlawan bangsa Sultan Hamengkubuwono IX yang keluasan hatinya melebihi wilayah negeri ini dari sabang sampai merauke.
Depok June 25′ 2011
Aryadi Noersaid
Becak dan delman amat dominan masa itu , persimpangan Soko mulai riuh dengan bunyi kalung kuda yang terangguk angguk mengikuti ayunan cemeti sang kusir. Dari arah selatan dan membelok ke barat sebuah sedan hitam ber plat AB melaju dari arah yang berlawanan dengan arus becak dan delman . Brigadir Royadin memandang dari kejauhan ,sementara sedan hitam itu melaju perlahan menuju kearahnya. Dengan sigap ia menyeberang jalan ditepi posnya, ayunan tangan kedepan dengan posisi membentuk sudut Sembilan puluh derajat menghentikan laju sedan hitam itu. Sebuah sedan tahun lima puluhan yang amat jarang berlalu di jalanan pekalongan berhenti dihadapannya.
Saat mobil menepi , brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi hormat.
“Selamat pagi!” Brigadir Royadin memberi hormat dengan sikap sempurna . “Boleh ditunjukan rebuwes!” Ia meminta surat surat mobil berikut surat ijin mengemudi kepada lelaki di balik kaca , jaman itu surat mobil masih diistilahkan rebuwes.
Perlahan , pria berusia sekitar setengah abad menurunkan kaca samping secara penuh.
“Ada apa pak polisi ?” Tanya pria itu. Brigadir Royadin tersentak kaget , ia mengenali siapa pria itu . “Ya Allah…sinuwun!” kejutnya dalam hati . Gugup bukan main namun itu hanya berlangsung sedetik , naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam sikap sempurna.
“Bapak melangar verbodden , tidak boleh lewat sini, ini satu arah !” Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Jogja, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dirinya tak habis pikir , orang sebesar sultan HB IX mengendarai sendiri mobilnya dari jogja ke pekalongan yang jauhnya cukup lumayan., entah tujuannya kemana.
Setelah melihat rebuwes , Brigadir Royadin mempersilahkan Sri Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan , namun sultan menolak.
“ Ya ..saya salah , kamu benar , saya pasti salah !” Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggengam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa.
“ Jadi…?” Sinuwun bertanya , pertanyaan yang singkat namun sulit bagi brigadir Royadin menjawabnya .
“Em..emm ..bapak saya tilang , mohon maaf!” Brigadir Royadin heran , sinuwun tak kunjung menggunakan kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya, jangankan begitu , mengenalkan dirinya sebagai pejabat Negara dan Rajapun beliau tidak melakukannya.
“Baik..brigadir , kamu buatkan surat itu , nanti saya ikuti aturannya, saya harus segera ke Tegal !” Sinuwun meminta brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang. Dengan tangan bergetar ia membuatkan surat tilang, ingin rasanya tidak memberikan surat itu tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi tidak boleh memandang beda pelanggar kesalahan yang terjadi di depan hidungnya. Yang paling membuatnya sedikit tenang adalah tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut sinuwun menyebutkan bahwa dia berhak mendapatkan dispensasi. “Sungguh orang yang besar…!” begitu gumamnya.
Surat tilang berpindah tangan , rebuwes saat itu dalam genggamannya dan ia menghormat pada sinuwun sebelum sinuwun kembali memacu Sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal.
Beberapa menit sinuwun melintas di depan stasiun pekalongan, brigadir royadin menyadari kebodohannya, kekakuannya dan segala macam pikiran berkecamuk. Ingin ia memacu sepeda ontelnya mengejar Sedan hitam itu tapi manalah mungkin. Nasi sudah menjadi bubur dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapapun berhasil menghibur dirinya.
Saat aplusan di sore hari dan kembali ke markas , Ia menyerahkan rebuwes kepada petugas jaga untuk diproses hukum lebih lanjut.,Ialu kembali kerumah dengan sepeda abu abu tuanya.
Saat apel pagi esok harinya , suara amarah meledak di markas polisi pekalongan , nama Royadin diteriakkan berkali kali dari ruang komisaris. Beberapa polisi tergopoh gopoh menghampirinya dan memintanya menghadap komisaris polisi selaku kepala kantor.
“Royadin , apa yang kamu lakukan ..sa’enake dewe ..ora mikir ..iki sing mbok tangkep sopo heh..ngawur..ngawur!” Komisaris mengumpat dalam bahasa jawa , ditangannya rebuwes milik sinuwun pindah dari telapak kanan kekiri bolak balik.
“ Sekarang aku mau Tanya , kenapa kamu tidak lepas saja sinuwun..biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia , ngerti nggak kowe sopo sinuwun?” Komisaris tak menurunkan nada bicaranya.
“ Siap pak , beliau tidak bilang beliau itu siapa , beliau ngaku salah ..dan memang salah!” brigadir Royadin menjawab tegas.
“Ya tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia ..ojo kaku kaku , kok malah mbok tilang..ngawur ..jan ngawur….Ini bisa panjang , bisa sampai Menteri !” Derai komisaris. Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.
Brigadir Royadin pasrah , apapun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi , yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja ..memang Koppeg(keras kepala) kedengarannya.
Kepala polisi pekalongan berusaha mencari tahu dimana gerangan sinuwun , masih di Tegalkah atau tempat lain? Tujuannya cuma satu , mengembalikan rebuwes. Namun tidak seperti saat ini yang demikian mudahnya bertukar kabar , keberadaa sinuwun tak kunjung diketahui hingga beberapa hari. Pada akhirnya kepala polisi pekalongan mengutus beberapa petugas ke Jogja untuk mengembalikan rebuwes tanpa mengikut sertakan Brigadir Royadin.
Usai mendapat marah , Brigadir Royadin bertugas seperti biasa , satu minggu setelah kejadian penilangan, banyak teman temannya yang mentertawakan bahkan ada isu yang ia dengar dirinya akan dimutasi ke pinggiran kota pekalongan selatan.
Suatu sore , saat belum habis jam dinas , seorang kurir datang menghampirinya di persimpangan soko yang memintanya untuk segera kembali ke kantor. Sesampai di kantor beberapa polisi menggiringnya keruang komisaris yang saat itu tengah menggengam selembar surat.
“Royadin….minggu depan kamu diminta pindah !” lemas tubuh Royadin , ia membayangkan harus menempuh jalan menanjak dipinggir kota pekalongan setiap hari , karena mutasi ini, karena ketegasan sikapnya dipersimpangan soko .
“ Siap pak !” Royadin menjawab datar.
“Bersama keluargamu semua, dibawa!” pernyataan komisaris mengejutkan , untuk apa bawa keluarga ketepi pekalongan selatan , ini hanya merepotkan diri saja.
“Saya sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di rumah sekarang !” Brigadir Royadin menawar.
“Ngawur…Kamu sanggup bersepeda pekalongan – Jogja ? pindahmu itu ke jogja bukan disini, sinuwun yang minta kamu pindah tugas kesana , pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat.!” Cetus pak komisaris , disodorkan surat yang ada digengamannya kepada brigadir Royadin.
Surat itu berisi permintaan bertuliskan tangan yang intinya : “ Mohon dipindahkan brigadir Royadin ke Jogja , sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin Jogjakarta akan menempatkannya di wilayah Jogjakarta bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat.” Ditanda tangani sri sultan hamengkubuwono IX.
Tangan brigadir Royadin bergetar , namun ia segera menemukan jawabannya. Ia tak sangup menolak permntaan orang besar seperti sultan HB IX namun dia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota pekalongan .Ia cinta pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota ini .
“ Mohon bapak sampaikan ke sinuwun , saya berterima kasih, saya tidak bisa pindah dari pekalongan , ini tanah kelahiran saya , rumah saya . Sampaikan hormat saya pada beliau ,dan sampaikan permintaan maaf saya pada beliau atas kelancangan saya !” Brigadir Royadin bergetar , ia tak memahami betapa luasnya hati sinuwun Sultan HB IX , Amarah hanya diperolehnya dari sang komisaris namun penghargaan tinggi justru datang dari orang yang menjadi korban ketegasannya.
July 2010 , saat saya mendengar kepergian purnawirawan polisi Royadin kepada sang khalik dari keluarga dipekalongan , saya tak memilki waktu cukup untuk menghantar kepergiannya . Suaranya yang lirih saat mendekati akhir hayat masih saja mengiangkan cerita kebanggaannya ini pada semua sanak family yang berkumpul. Ia pergi meninggalkan kesederhanaan perilaku dan prinsip kepada keturunannya , sekaligus kepada saya selaku keponakannya. Idealismenya di kepolisian Pekalongan tetap ia jaga sampai akhir masa baktinya , pangkatnya tak banyak bergeser terbelenggu idealisme yang selalu dipegangnya erat erat yaitu ketegasan dan kejujuran .
Hormat amat sangat kepadamu Pak Royadin, Sang Polisi sejati . Dan juga kepada pahlawan bangsa Sultan Hamengkubuwono IX yang keluasan hatinya melebihi wilayah negeri ini dari sabang sampai merauke.
Depok June 25′ 2011
Aryadi Noersaid
Minggu, 18 Desember 2011
Kisah Nyata Seorang OB menjadi Vice President Citibank
Sungguh sebuah karunia yang luar biasa bagi saya bisa bertemu dengan seorang yang memiliki pribadi dan kisah menakjubkan. Dialah Houtman Zainal Arifin, seorang pedagang asongan, anak jalanan, Office Boy yang kemudian menjadi Vice President Citibank di Indonesia. Sebuah jabatan Nomor 1 di Indonesia karena Presiden Direktur Citibank sendiri berada di USA.
Tepatnya 10 Juni 2010, saya berkesempatan bertemu pak Houtman. Kala itu saya sedang mengikuti training leadership yang diadakan oleh kantor saya, Bank Syariah Mandiri di Hotel Treva International, Jakarta. Selama satu minggu saya memperoleh pelatihan yang luar biasa mencerahkan, salah satu nya saya peroleh dari Pak Houtman. Berikut kisah inspirasinya:
Sekitar tahun 60an Houtman memulai karirnya sebagai perantau, berangkat dari desa ke jalanan Ibukota. Merantau dari kampung dengan penuh impian dan harapan, Houtman remaja berangkat ke Jakarta. Di Jakarta ternyata Houtman harus menerima kenyataan bahwa kehidupan ibukota ternyata sangat keras dan tidak mudah. Tidak ada pilihan bagi seorang lulusan SMA di Jakarta, pekerjaan tidak mudah diperoleh. Houtman pun memilih bertahan hidup dengan profesi sebagai pedagang asongan, dari jalan raya ke kolong jembatan kemudian ke lampu merah menjajakan dagangannya.
Tetapi kondisi seperti ini tidak membuat Houtman kehilangan cita-cita dan impian. Suatu ketika Houtman beristirahat di sebuah kolong jembatan, dia memperhatikan kendaran-kendaraan mewah yang berseliweran di jalan Jakarta. Para penumpang mobil tersebut berpakaian rapih, keren dan berdasi. Houtman remaja pun ingin seperti mereka, mengendarai kendaraan berpendingin, berpakaian necis dan tentu saja memiliki uang yang banyak. Saat itu juga Houtman menggantungkan cita-citanya setinggi langit, sebuah cita-cita dan tekad diazamkan dalam hatinya.
Azam atau tekad yang kuat dari Houtman telah membuatnya ingin segera merubah nasib. Tanpa menunggu waktu lama Houtman segera memulai mengirimkan lamaran kerja ke setiap gedung bertingkat yang dia ketahui. Bila ada gedung yang menurutnya bagus maka pasti dengan segera dikirimkannya sebuah lamaran kerja. Houtman menyisihkan setiap keuntungan yang diperolehnya dari berdagang asongan digunakan untuk membiayai lamaran kerja.
Sampai suatu saat Houtman mendapat panggilan kerja dari sebuah perusahaan yang sangat terkenal dan terkemuka di Dunia, The First National City Bank (citibank), sebuah bank bonafid dari USA. Houtman pun diterima bekerja sebagai seorang Office Boy. Sebuah jabatan paling dasar, paling bawah dalam sebuah hierarki organisasi dengan tugas utama membersihkan ruangan kantor, wc, ruang kerja dan ruangan lainnya.
Tapi Houtman tetap bangga dengan jabatannya, dia tidak menampik pekerjaan. Diterimanyalah jabatan tersebut dengan sebuah cita-cita yang tinggi. Houtman percaya bahwa nasib akan berubah sehingga tanpa disadarinya Houtman telah membuka pintu masa depan menjadi orang yang berbeda.
Sebagai Office Boy Houtman selalu mengerjakan tugas dan pekerjaannya dengan baik. Terkadang dia rela membantu para staf dengan sukarela. Selepas sore saat seluruh pekerjaan telah usai Houtman berusaha menambah pengetahuan dengan bertanya tanya kepada para pegawai. Dia bertanya mengenai istilah istilah bank yang rumit, walaupun terkadang saat bertanya dia menjadi bahan tertawaan atau sang staf mengernyitkan dahinya. Mungkin dalam benak pegawai ”ngapain nih OB nanya-nanya istilah bank segala, kayak ngerti aja”. Sampai akhirnya Houtman sedikit demi sedikit familiar dengan dengan istilah bank seperti Letter of Credit, Bank Garansi, Transfer, Kliring, dll.
Suatu saat Houtman tertegun dengan sebuah mesin yang dapat menduplikasi dokumen (saat ini dikenal dengan mesin photo copy). Ketika itu mesin foto kopi sangatlah langka, hanya perusahaan perusahaan tertentu lah yang memiliki mesin tersebut dan diperlukan seorang petugas khusus untuk mengoperasikannya. Setiap selesai pekerjaan setelah jam 4 sore Houtman sering mengunjungi mesin tersebut dan minta kepada petugas foto kopi untuk mengajarinya. Houtman pun akhirnya mahir mengoperasikan mesin foto kopi, dan tanpa di sadarinya pintu pertama masa depan terbuka. Pada suatu hari petugas mesin foto kopi itu berhalangan dan praktis hanya Houtman yang bisa menggantikannya, sejak itu pula Houtman resmi naik jabatan dari OB sebagai Tukang Foto Kopi.
Menjadi tukang foto kopi merupakan sebuah prestasi bagi Houtman, tetapi Houtman tidak cepat berpuas diri. Disela-sela kesibukannya Houtman terus menambah pengetahuan dan minat akan bidang lain. Houtman tertegun melihat salah seorang staf memiliki setumpuk pekerjaan di mejanya. Houtman pun menawarkan bantuan kepada staf tersebut hingga membuat sang staf tertegun. “bener nih lo mo mau bantuin gua” begitu Houtman mengenang ucapan sang staff dulu. “iya bener saya mau bantu, sekalian nambah ilmu” begitu Houtman menjawab. “Tapi hati-hati ya ngga boleh salah, kalau salah tanggungjawab lo, bisa dipecat lo”, sang staff mewanti-wanti dengan keras. Akhirnya Houtman diberi setumpuk dokumen, tugas dia adalah membubuhkan stempel pada Cek, Bilyet Giro dan dokumen lainnya pada kolom tertentu. Stempel tersebut harus berada di dalam kolom tidak boleh menyimpang atau keluar kolom. Alhasil Houtman membutuhkan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut karena dia sangat berhati-hati sekali. Selama mengerjakan tugas tersebut Houtman tidak sekedar mencap, tapi dia membaca dan mempelajari dokumen yang ada. Akibatnya Houtman sedikit demi sedikit memahami berbagai istilah dan teknis perbankan. Kelak pengetahuannya ini membawa Houtman kepada jabatan yang tidak pernah diduganya.
Houtman cepat menguasai berbagai pekerjaan yang diberikan dan selalu mengerjakan seluruh tugasnya dengan baik. Dia pun ringan tangan untuk membantu orang lain, para staff dan atasannya. Sehingga para staff pun tidak segan untuk membagi ilmu kepadanya. Sampai suatu saat pejabat di Citibank mengangkatnya menjadi pegawai bank karena prestasi dan kompetensi yang dimilikinya, padahal Houtman hanyalah lulusan SMA.
Peristiwa pengangkatan Houtman menjadi pegawai Bank menjadi berita luar biasa heboh dan kontroversial. Bagaimana bisa seorang OB menjadi staff, bahkan rekan sesama OB mencibir Houtman sebagai orang yang tidak konsisten. Houtman dianggap tidak konsisten dengan tugasnya, “jika masuk OB, ya pensiun harus OB juga” begitu rekan sesama OB menggugat.
Houtman tidak patah semangat, dicibir teman-teman bahkan rekan sesama staf pun tidak membuat goyah. Houtman terus mengasah keterampilan dan berbagi membantu rekan kerjanya yang lain. Hanya membantulah yang bisa diberikan oleh Houtman, karena materi tidak ia miliki. Houtman tidak pernah lama dalam memegang suatu jabatan, sama seperti ketika menjadi OB yang haus akan ilmu baru. Houtman selalu mencoba tantangan dan pekerjaan baru. Sehingga karir Houtman melesat bak panah meninggalkan rekan sesama OB bahkan staff yang mengajarinya tentang istilah bank.
19 tahun kemudian sejak Houtman masuk sebagai Office Boy di The First National City Bank, Houtman mencapai jabatan tertingginya yaitu Vice President. Sebuah jabatan puncak citibank di Indonesia. Jabatan tertinggi citibank sendiri berada di USA yaitu Presiden Director yang tidak mungkin dijabat oleh orang Indonesia.
Sampai dengan saat ini belum ada yang mampu memecahkan rekor Houtman masuk sebagai OB pensiun sebagai Vice President, dan hanya berpendidikan SMA. Houtman pun kini pensiun dengan berbagai jabatan pernah diembannya, menjadi staf ahli citibank asia pasifik, menjadi penasehat keuangan salah satu gubernur, menjabat CEO di berbagai perusahaan dan menjadi inspirator bagi banyak orang.
Tepatnya 10 Juni 2010, saya berkesempatan bertemu pak Houtman. Kala itu saya sedang mengikuti training leadership yang diadakan oleh kantor saya, Bank Syariah Mandiri di Hotel Treva International, Jakarta. Selama satu minggu saya memperoleh pelatihan yang luar biasa mencerahkan, salah satu nya saya peroleh dari Pak Houtman. Berikut kisah inspirasinya:
Sekitar tahun 60an Houtman memulai karirnya sebagai perantau, berangkat dari desa ke jalanan Ibukota. Merantau dari kampung dengan penuh impian dan harapan, Houtman remaja berangkat ke Jakarta. Di Jakarta ternyata Houtman harus menerima kenyataan bahwa kehidupan ibukota ternyata sangat keras dan tidak mudah. Tidak ada pilihan bagi seorang lulusan SMA di Jakarta, pekerjaan tidak mudah diperoleh. Houtman pun memilih bertahan hidup dengan profesi sebagai pedagang asongan, dari jalan raya ke kolong jembatan kemudian ke lampu merah menjajakan dagangannya.
Tetapi kondisi seperti ini tidak membuat Houtman kehilangan cita-cita dan impian. Suatu ketika Houtman beristirahat di sebuah kolong jembatan, dia memperhatikan kendaran-kendaraan mewah yang berseliweran di jalan Jakarta. Para penumpang mobil tersebut berpakaian rapih, keren dan berdasi. Houtman remaja pun ingin seperti mereka, mengendarai kendaraan berpendingin, berpakaian necis dan tentu saja memiliki uang yang banyak. Saat itu juga Houtman menggantungkan cita-citanya setinggi langit, sebuah cita-cita dan tekad diazamkan dalam hatinya.
Azam atau tekad yang kuat dari Houtman telah membuatnya ingin segera merubah nasib. Tanpa menunggu waktu lama Houtman segera memulai mengirimkan lamaran kerja ke setiap gedung bertingkat yang dia ketahui. Bila ada gedung yang menurutnya bagus maka pasti dengan segera dikirimkannya sebuah lamaran kerja. Houtman menyisihkan setiap keuntungan yang diperolehnya dari berdagang asongan digunakan untuk membiayai lamaran kerja.
Sampai suatu saat Houtman mendapat panggilan kerja dari sebuah perusahaan yang sangat terkenal dan terkemuka di Dunia, The First National City Bank (citibank), sebuah bank bonafid dari USA. Houtman pun diterima bekerja sebagai seorang Office Boy. Sebuah jabatan paling dasar, paling bawah dalam sebuah hierarki organisasi dengan tugas utama membersihkan ruangan kantor, wc, ruang kerja dan ruangan lainnya.
Tapi Houtman tetap bangga dengan jabatannya, dia tidak menampik pekerjaan. Diterimanyalah jabatan tersebut dengan sebuah cita-cita yang tinggi. Houtman percaya bahwa nasib akan berubah sehingga tanpa disadarinya Houtman telah membuka pintu masa depan menjadi orang yang berbeda.
Sebagai Office Boy Houtman selalu mengerjakan tugas dan pekerjaannya dengan baik. Terkadang dia rela membantu para staf dengan sukarela. Selepas sore saat seluruh pekerjaan telah usai Houtman berusaha menambah pengetahuan dengan bertanya tanya kepada para pegawai. Dia bertanya mengenai istilah istilah bank yang rumit, walaupun terkadang saat bertanya dia menjadi bahan tertawaan atau sang staf mengernyitkan dahinya. Mungkin dalam benak pegawai ”ngapain nih OB nanya-nanya istilah bank segala, kayak ngerti aja”. Sampai akhirnya Houtman sedikit demi sedikit familiar dengan dengan istilah bank seperti Letter of Credit, Bank Garansi, Transfer, Kliring, dll.
Suatu saat Houtman tertegun dengan sebuah mesin yang dapat menduplikasi dokumen (saat ini dikenal dengan mesin photo copy). Ketika itu mesin foto kopi sangatlah langka, hanya perusahaan perusahaan tertentu lah yang memiliki mesin tersebut dan diperlukan seorang petugas khusus untuk mengoperasikannya. Setiap selesai pekerjaan setelah jam 4 sore Houtman sering mengunjungi mesin tersebut dan minta kepada petugas foto kopi untuk mengajarinya. Houtman pun akhirnya mahir mengoperasikan mesin foto kopi, dan tanpa di sadarinya pintu pertama masa depan terbuka. Pada suatu hari petugas mesin foto kopi itu berhalangan dan praktis hanya Houtman yang bisa menggantikannya, sejak itu pula Houtman resmi naik jabatan dari OB sebagai Tukang Foto Kopi.
Menjadi tukang foto kopi merupakan sebuah prestasi bagi Houtman, tetapi Houtman tidak cepat berpuas diri. Disela-sela kesibukannya Houtman terus menambah pengetahuan dan minat akan bidang lain. Houtman tertegun melihat salah seorang staf memiliki setumpuk pekerjaan di mejanya. Houtman pun menawarkan bantuan kepada staf tersebut hingga membuat sang staf tertegun. “bener nih lo mo mau bantuin gua” begitu Houtman mengenang ucapan sang staff dulu. “iya bener saya mau bantu, sekalian nambah ilmu” begitu Houtman menjawab. “Tapi hati-hati ya ngga boleh salah, kalau salah tanggungjawab lo, bisa dipecat lo”, sang staff mewanti-wanti dengan keras. Akhirnya Houtman diberi setumpuk dokumen, tugas dia adalah membubuhkan stempel pada Cek, Bilyet Giro dan dokumen lainnya pada kolom tertentu. Stempel tersebut harus berada di dalam kolom tidak boleh menyimpang atau keluar kolom. Alhasil Houtman membutuhkan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut karena dia sangat berhati-hati sekali. Selama mengerjakan tugas tersebut Houtman tidak sekedar mencap, tapi dia membaca dan mempelajari dokumen yang ada. Akibatnya Houtman sedikit demi sedikit memahami berbagai istilah dan teknis perbankan. Kelak pengetahuannya ini membawa Houtman kepada jabatan yang tidak pernah diduganya.
Houtman cepat menguasai berbagai pekerjaan yang diberikan dan selalu mengerjakan seluruh tugasnya dengan baik. Dia pun ringan tangan untuk membantu orang lain, para staff dan atasannya. Sehingga para staff pun tidak segan untuk membagi ilmu kepadanya. Sampai suatu saat pejabat di Citibank mengangkatnya menjadi pegawai bank karena prestasi dan kompetensi yang dimilikinya, padahal Houtman hanyalah lulusan SMA.
Peristiwa pengangkatan Houtman menjadi pegawai Bank menjadi berita luar biasa heboh dan kontroversial. Bagaimana bisa seorang OB menjadi staff, bahkan rekan sesama OB mencibir Houtman sebagai orang yang tidak konsisten. Houtman dianggap tidak konsisten dengan tugasnya, “jika masuk OB, ya pensiun harus OB juga” begitu rekan sesama OB menggugat.
Houtman tidak patah semangat, dicibir teman-teman bahkan rekan sesama staf pun tidak membuat goyah. Houtman terus mengasah keterampilan dan berbagi membantu rekan kerjanya yang lain. Hanya membantulah yang bisa diberikan oleh Houtman, karena materi tidak ia miliki. Houtman tidak pernah lama dalam memegang suatu jabatan, sama seperti ketika menjadi OB yang haus akan ilmu baru. Houtman selalu mencoba tantangan dan pekerjaan baru. Sehingga karir Houtman melesat bak panah meninggalkan rekan sesama OB bahkan staff yang mengajarinya tentang istilah bank.
19 tahun kemudian sejak Houtman masuk sebagai Office Boy di The First National City Bank, Houtman mencapai jabatan tertingginya yaitu Vice President. Sebuah jabatan puncak citibank di Indonesia. Jabatan tertinggi citibank sendiri berada di USA yaitu Presiden Director yang tidak mungkin dijabat oleh orang Indonesia.
Sampai dengan saat ini belum ada yang mampu memecahkan rekor Houtman masuk sebagai OB pensiun sebagai Vice President, dan hanya berpendidikan SMA. Houtman pun kini pensiun dengan berbagai jabatan pernah diembannya, menjadi staf ahli citibank asia pasifik, menjadi penasehat keuangan salah satu gubernur, menjabat CEO di berbagai perusahaan dan menjadi inspirator bagi banyak orang.
Sabtu, 10 Desember 2011
Rabu, 07 Desember 2011
Yudi Pawitan, Sosok Sederhana yang Menginspirasi
Tulisan singkat ini merupakan sebuah rangkuman yang dibuat oleh para mahasiswa Indonesia di Gothenburg Swedia sebagai bentuk penghargaan terhadap sosok Yudi Pawitan.
Kesibukan mahasiswa Indonesia di Gothenburg pada Sabtu sore itu tampak berbeda. Sejak Jumat, para mahasiswi sibuk mempersiapkan makanan di rumah masing-masing. Di lain pihak, para mahasiswa putra sibuk bahu-membahu mengurus detil persiapan acara sarasehan yang digelar pada Sabtu 26 November 2011.
Bukanlah seorang pejabat atau artis yang akan kami sambut, melainkan seorang ilmuwan yang memiliki kursi professorship di Karolinska Institute Stockholm. Karolinska Institute adalah salah satu universitas medis terbaik di muka bumi ini. Setiap tahun Karolinska Institute menyeleksi peraih gelar nobel di bidang kedokteran bersama Royal Swedish Academy of Science.
Setelah waktu menunjukkan pukul 3 di sabtu sore itu, tamu spesial yang kami tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Ia adalah Professor Yudi Pawitan, seorang yang telah lebih dari 30 tahun malang-melintang dalam dunia statistika, khususnya biostatistik, di dunia.
Kiprah Yudi Pawitan dalam dunia biostatistik dan genetika sudah diakui di level internasional. Selain aktif menulis publikasi ilmiah di berbagai jurnal kedokteran, ia juga telah menulis dua buah text boox: "In All Likelihood: Statistical modelling and inference using likelihood" yang diterbitkan oleh Oxford University Press tahun 2001 dan "Generalized Linear Models with Random Effects" pada tahun 2006 bersama professor Lee dan Professor Nelder.
Kesan pertama bertemu dengan beliau, tampak terpancar sosok yang penuh kesederhanaan dibalut keramahan khas orang Indonesia. Penampilannya mirip seperti mahasiswa dengan membawa tas kulit tua yang terselempang di pundak. Ia dengan ramah menyapa setiap mahasiswa dengan bahasa Indonesia yang beraksen Inggris kental. Sore itu beliau memang dijadwalkan untuk memberikan materi pada sarasehan PPI Swedia di Chalmers University of Technology, Gothenburg, Swedia.
Kisah kehidupan Yudi di Indonesia
Secara rendah hati dan terbuka, Professor Yudi membagikan refleksi perjalanan hidupnya sebagai seorang peneliti yang membangun karier akademis di manca negara. Yudi pawitan dilahirkan di kota hujan Bogor pada tahun 1960. Tumbuh dari keluarga pedagang yang sederhana dimana ayahnya bekerja sebagai pedagang batik dan ibunya sebagai ibu rumah tangga.
Kesibukan mahasiswa Indonesia di Gothenburg pada Sabtu sore itu tampak berbeda. Sejak Jumat, para mahasiswi sibuk mempersiapkan makanan di rumah masing-masing. Di lain pihak, para mahasiswa putra sibuk bahu-membahu mengurus detil persiapan acara sarasehan yang digelar pada Sabtu 26 November 2011.
Bukanlah seorang pejabat atau artis yang akan kami sambut, melainkan seorang ilmuwan yang memiliki kursi professorship di Karolinska Institute Stockholm. Karolinska Institute adalah salah satu universitas medis terbaik di muka bumi ini. Setiap tahun Karolinska Institute menyeleksi peraih gelar nobel di bidang kedokteran bersama Royal Swedish Academy of Science.
Setelah waktu menunjukkan pukul 3 di sabtu sore itu, tamu spesial yang kami tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Ia adalah Professor Yudi Pawitan, seorang yang telah lebih dari 30 tahun malang-melintang dalam dunia statistika, khususnya biostatistik, di dunia.
Kiprah Yudi Pawitan dalam dunia biostatistik dan genetika sudah diakui di level internasional. Selain aktif menulis publikasi ilmiah di berbagai jurnal kedokteran, ia juga telah menulis dua buah text boox: "In All Likelihood: Statistical modelling and inference using likelihood" yang diterbitkan oleh Oxford University Press tahun 2001 dan "Generalized Linear Models with Random Effects" pada tahun 2006 bersama professor Lee dan Professor Nelder.
Kesan pertama bertemu dengan beliau, tampak terpancar sosok yang penuh kesederhanaan dibalut keramahan khas orang Indonesia. Penampilannya mirip seperti mahasiswa dengan membawa tas kulit tua yang terselempang di pundak. Ia dengan ramah menyapa setiap mahasiswa dengan bahasa Indonesia yang beraksen Inggris kental. Sore itu beliau memang dijadwalkan untuk memberikan materi pada sarasehan PPI Swedia di Chalmers University of Technology, Gothenburg, Swedia.
Kisah kehidupan Yudi di Indonesia
Secara rendah hati dan terbuka, Professor Yudi membagikan refleksi perjalanan hidupnya sebagai seorang peneliti yang membangun karier akademis di manca negara. Yudi pawitan dilahirkan di kota hujan Bogor pada tahun 1960. Tumbuh dari keluarga pedagang yang sederhana dimana ayahnya bekerja sebagai pedagang batik dan ibunya sebagai ibu rumah tangga.
Sebagai seorang remaja, Yudi muda telah memiliki motivasi yang kuat untuk menjadi seorang ilmuwan walau ia masih duduk di bangku SMA Regina Pacis Bogor. Setamat SMA pada tahun 1977, Yudi muda melanjutkan kuliah di jurusan statistik di Institut Pertanian Bogor, yang saat itu bisa dikatakan memiliki program studi statistik terbaik di Indonesia.
Sempat terbersit keinginan kuat untuk menjadi dosen IPB setelah Yudi muda menamatkan gelar sarjananya, namun perjalanan hidup akhirnya membawa Yudi muda bekerja di perusahaan swasta yang bergerak di bidang komputer di Jakarta. Pria yang hingga saat ini tidak memiliki mobil ini pun bertutur ”Ada satu waktu dimana saya mungkin akan bekerja di swasta selamanya kalau kakak saya tidak aktif mendorong saya untuk melanjutkan studi lanjut ke Amerika”.
Memulai karir sebagai akademisi di mancanegara
Kurang dari setahun bekerja, komunikasi yang intensif dengan sang kakak (Professor Hidayat Pawitan, dosen di IPB Bogor) yang sedang kuliah di negeri Paman Sam akhirnya membulatkan tekad Yudi muda untuk menuntut ilmu ke tempat yang sama. Singkat cerita, pada tahun 1983, Yudi muda melamar dan diterima di program master di bidang statistik di University of California Davis (UCLA Davis). Cita cita sebagai seorang peneliti semakin mendekati kenyataan ketika gelar MSc dan PhD di bidang statistik, khususnya Time Series Analysis diselesaikan Yudi muda di tahun 1987.
Menurut Professor Yudi, ada dua faktor yang mempengaruhi perjalanan hidup beliau yaitu keinginan kuat menjadi peneliti dan keberuntungan. Semua orang bisa mengikuti jejak beliau untuk menjadi peneliti atau ilmuwan di manca negara bila sudah memiliki faktor pertama. Selain itu, ia selalu merasa bahwa ia menjadi orang yang paling beruntung. Pada tahun 80an memang tak bisa dipungkiri biaya kuliah di UCLA Davis relatif rendah. Selain itu, banyak dukungan dana dari universitas dalam bentuk tunjangan sebagai Research Assistant atau Teaching Assistant yang membuka kesempatan bagi siapapun untuk menyelesaikan studi di AS tanpa memerlukan sumber pendanaan dari beasiswa.
Namun, motivasi kuat dan sikap pantang menyerah adalah kunci utama untuk bisa belajar maupun berkarier di luar negeri. Selain itu, kemampuan orang Indonesia secara intelektual cukup sejajar dengan bangsa lain, misalnya China atau India yang saat ini cukup mendominasi penelitian untuk sains dan teknologi
Setamat dari UCLA Davis, Professor Yudi bekerja sebagai staf pengajar dan riset (Assistant Professor) di bidang Bio-Statistics (Clinical Trials dan Radiology) di University of Washington, Seattle. Di tempat inilah Professor Yudi menemukan tambatan hatinya seorang wanita asal Irlandia yang saat itu sedang menempuh pendidikan S3 di universitas yang sama.
Setelah menjalani karir akademis di Amerika Serikat selama empat tahun hingga tahun 1991, Professor Yudi Pawitan memutuskan untuk hijrah ke Irlandia bersama keluarganya dan mengajar di National University of Ireland sampai tahun 2001. Dalam pekerjaan baru di Irlandia ini, Professor Yudi banyak menghabiskan waktu baik untuk mengajar dan melakukan riset. Setelah berkiprah selama 10 tahun, ia sampai pada satu titik dimana ia memutuskan untuk memfokuskan diri meneliti. Ia pun menuturkan bahwa salah satu periode tersulit hidupnya pada saat ia harus mengajar sambil meneliti di Irlandia.
Begulat dengan riset kanker di Swedia
Suatu kebetulan pada tahun 2001, Karolinska Institute di Stockholm membuka lowongan posisi professor di bidang Bio-Statistik, Professor Yudi pun tertarik dan ingin mencoba karier akademis sebagai peneliti di Swedia. Professor Yudi akhirnya bergabung di Department of Medical Epidemiology and Biostatistics, dengan fokus penelitian dalam bidang statistical genetics dan molecular biology yang terkait dengan penelitian kanker. Suatu pilihan yang tepat karena ternyata penelitian dibidang statistik di Swedia jauh lebih berkembang karena tersedianya data dan informasi secara terorganisir.
Sejak lahir, penduduk Swedia sudah diberikan person number, satu nomor identifikasi tunggal kependudukan yang dipergunakan untuk berbagai keperluan. Nomor identitas ini diperlukan baik untuk membuka rekening bank, sekolah, perawatan kesehatan bahkan sampai membayar denda parkir. Dengan ini, data penduduk Swedia sudah terdokumentasi dengan baik dan memudahkan olah data statistik untuk berbagai keperluan studi.
Ia sedikit berbagi tentang riset yang ia geluti saat ini yaitu tentang pentingnya menghitung probabilitas pasien kanker untuk menerima therapi kanker. Seperti yang kita ketahui, therapi kanker merupakan salah satu therapi termahal di dunia. Di negara seperti Swedia, pemerintah menanggung sebagian besar biaya pengobatan warganya. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi yang tepat untuk menentukan pasien kanker mana yang akan menerima keuntungan besar dengan menjalani therapi. Hal ini menjadi informasi yang penting bagi dokter untuk menentukan langkah medis yang tepat terhadap pasien kanker.
Dengan bantuan slide power point yang sudah dipersiapkan, Professor Yudi membagikan refleksi beliau mengenai perkembangan penelitian dan tantangan yang dihadapi dunia akademis di Indonesia dalam konteks persaingan dengan negara lain. Swedia sendiri memiliki penelitian yang maju dengan dukungan pendanaan dari dunia usaha, sedangkan dana penelitian dari pemerintah sendiri relatif kecil.
Dijelaskan pula adanya hubungan antara perkembangan iptek dan penelitian dengan faktor budaya, pembagian peran dan tanggung jawab antara peneliti, pengajar dan administrator, infrastruktur pendukung, penegakan hukum dan dukungan dana dari pemerintah maupun swasta. Peran pemerintah dan dunia bisnis (swasta) dalam mengembangkan penelitian adalah satu aspek penting demi kemajuan iptek di setiap negara. Peranan ilmuwan sendiri dalam membantu institusi pemerintahan untuk memutuskan kebijakan publik juga akan membantu kemajuan penelitian di Indonesia.
Untuk menjadi peneliti yang baik, seorang cendekiawan mesti belajar mencari pertanyaan yang relevan dan menarik untuk dikembangkan, mampu memotivasi diri untuk maju, berkolaborasi dengan cendekiawan lain dan bergaul dalam suatu lingkungan yang kondusif. Beliau juga menekankan pentingnya untuk fokus pada keahlian kita karena tidak ada yang ahli di semua bidang. Dengan menjadi ahli di bidang yang kita geluti, terbuka peluang untuk bersinergi dengan bidang penelitian lainnya. Dalam meniti karir kita sebaiknya pandai melihat peluang dan cepat memanfaatkan. Setelah didapat, kita jalani dengan sebaik-baiknya.
Professor yang gemar bermain bulutangkis ini pun menambahkan ”Beranilah mengambil keputusan untuk melakukan perubahan dalam berkarir apabila memang kondisinya tidak seperti yang kita inginkan dan janganlah melakukan sesuatu yang memang tidak kita sukai”.
Dalam kesempatannya bertemu dengan mahasiswa Indonesia, Professor Yudi banyak memberikan jawaban dan saran atas beragam pertanyaan baik dari pertanyaan mengenai kesulitan pendanaan untuk riset di Indonesia, sistem yg kurang kondusif untuk perkembangan penelitian, birokrasi pemerintahan yang gemuk dan peran universitas untuk riset. Tak lupa ia banyak memberikan pesan-pesan moral tentang berbagai hal yang terkait pendidikan, tips menjadi peneliti yang baik, mengatasi kejenuhan dan menghadapi kegagalan.
Di tengah gelapnya musim gugur dan hujan yang turun mengguyur Gothenburg, hal ini sama sekali tidak mengurangi kehangatan perjumpaan kami dengan Professor Yudi Pawitan. Tak terasa 5 jam sudah kami berbincang dengan berbagai topik yang lebih luas mulai dari statistik, lalu lintas di Indonesia, sampai masalah politik nasional. Semoga Professor Yudi Pawitan sehat selalu dan terus berkarya demi peradaban umat manusia.
Sempat terbersit keinginan kuat untuk menjadi dosen IPB setelah Yudi muda menamatkan gelar sarjananya, namun perjalanan hidup akhirnya membawa Yudi muda bekerja di perusahaan swasta yang bergerak di bidang komputer di Jakarta. Pria yang hingga saat ini tidak memiliki mobil ini pun bertutur ”Ada satu waktu dimana saya mungkin akan bekerja di swasta selamanya kalau kakak saya tidak aktif mendorong saya untuk melanjutkan studi lanjut ke Amerika”.
Memulai karir sebagai akademisi di mancanegara
Kurang dari setahun bekerja, komunikasi yang intensif dengan sang kakak (Professor Hidayat Pawitan, dosen di IPB Bogor) yang sedang kuliah di negeri Paman Sam akhirnya membulatkan tekad Yudi muda untuk menuntut ilmu ke tempat yang sama. Singkat cerita, pada tahun 1983, Yudi muda melamar dan diterima di program master di bidang statistik di University of California Davis (UCLA Davis). Cita cita sebagai seorang peneliti semakin mendekati kenyataan ketika gelar MSc dan PhD di bidang statistik, khususnya Time Series Analysis diselesaikan Yudi muda di tahun 1987.
Menurut Professor Yudi, ada dua faktor yang mempengaruhi perjalanan hidup beliau yaitu keinginan kuat menjadi peneliti dan keberuntungan. Semua orang bisa mengikuti jejak beliau untuk menjadi peneliti atau ilmuwan di manca negara bila sudah memiliki faktor pertama. Selain itu, ia selalu merasa bahwa ia menjadi orang yang paling beruntung. Pada tahun 80an memang tak bisa dipungkiri biaya kuliah di UCLA Davis relatif rendah. Selain itu, banyak dukungan dana dari universitas dalam bentuk tunjangan sebagai Research Assistant atau Teaching Assistant yang membuka kesempatan bagi siapapun untuk menyelesaikan studi di AS tanpa memerlukan sumber pendanaan dari beasiswa.
Namun, motivasi kuat dan sikap pantang menyerah adalah kunci utama untuk bisa belajar maupun berkarier di luar negeri. Selain itu, kemampuan orang Indonesia secara intelektual cukup sejajar dengan bangsa lain, misalnya China atau India yang saat ini cukup mendominasi penelitian untuk sains dan teknologi
Setamat dari UCLA Davis, Professor Yudi bekerja sebagai staf pengajar dan riset (Assistant Professor) di bidang Bio-Statistics (Clinical Trials dan Radiology) di University of Washington, Seattle. Di tempat inilah Professor Yudi menemukan tambatan hatinya seorang wanita asal Irlandia yang saat itu sedang menempuh pendidikan S3 di universitas yang sama.
Setelah menjalani karir akademis di Amerika Serikat selama empat tahun hingga tahun 1991, Professor Yudi Pawitan memutuskan untuk hijrah ke Irlandia bersama keluarganya dan mengajar di National University of Ireland sampai tahun 2001. Dalam pekerjaan baru di Irlandia ini, Professor Yudi banyak menghabiskan waktu baik untuk mengajar dan melakukan riset. Setelah berkiprah selama 10 tahun, ia sampai pada satu titik dimana ia memutuskan untuk memfokuskan diri meneliti. Ia pun menuturkan bahwa salah satu periode tersulit hidupnya pada saat ia harus mengajar sambil meneliti di Irlandia.
Begulat dengan riset kanker di Swedia
Suatu kebetulan pada tahun 2001, Karolinska Institute di Stockholm membuka lowongan posisi professor di bidang Bio-Statistik, Professor Yudi pun tertarik dan ingin mencoba karier akademis sebagai peneliti di Swedia. Professor Yudi akhirnya bergabung di Department of Medical Epidemiology and Biostatistics, dengan fokus penelitian dalam bidang statistical genetics dan molecular biology yang terkait dengan penelitian kanker. Suatu pilihan yang tepat karena ternyata penelitian dibidang statistik di Swedia jauh lebih berkembang karena tersedianya data dan informasi secara terorganisir.
Sejak lahir, penduduk Swedia sudah diberikan person number, satu nomor identifikasi tunggal kependudukan yang dipergunakan untuk berbagai keperluan. Nomor identitas ini diperlukan baik untuk membuka rekening bank, sekolah, perawatan kesehatan bahkan sampai membayar denda parkir. Dengan ini, data penduduk Swedia sudah terdokumentasi dengan baik dan memudahkan olah data statistik untuk berbagai keperluan studi.
Ia sedikit berbagi tentang riset yang ia geluti saat ini yaitu tentang pentingnya menghitung probabilitas pasien kanker untuk menerima therapi kanker. Seperti yang kita ketahui, therapi kanker merupakan salah satu therapi termahal di dunia. Di negara seperti Swedia, pemerintah menanggung sebagian besar biaya pengobatan warganya. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi yang tepat untuk menentukan pasien kanker mana yang akan menerima keuntungan besar dengan menjalani therapi. Hal ini menjadi informasi yang penting bagi dokter untuk menentukan langkah medis yang tepat terhadap pasien kanker.
Dengan bantuan slide power point yang sudah dipersiapkan, Professor Yudi membagikan refleksi beliau mengenai perkembangan penelitian dan tantangan yang dihadapi dunia akademis di Indonesia dalam konteks persaingan dengan negara lain. Swedia sendiri memiliki penelitian yang maju dengan dukungan pendanaan dari dunia usaha, sedangkan dana penelitian dari pemerintah sendiri relatif kecil.
Dijelaskan pula adanya hubungan antara perkembangan iptek dan penelitian dengan faktor budaya, pembagian peran dan tanggung jawab antara peneliti, pengajar dan administrator, infrastruktur pendukung, penegakan hukum dan dukungan dana dari pemerintah maupun swasta. Peran pemerintah dan dunia bisnis (swasta) dalam mengembangkan penelitian adalah satu aspek penting demi kemajuan iptek di setiap negara. Peranan ilmuwan sendiri dalam membantu institusi pemerintahan untuk memutuskan kebijakan publik juga akan membantu kemajuan penelitian di Indonesia.
Untuk menjadi peneliti yang baik, seorang cendekiawan mesti belajar mencari pertanyaan yang relevan dan menarik untuk dikembangkan, mampu memotivasi diri untuk maju, berkolaborasi dengan cendekiawan lain dan bergaul dalam suatu lingkungan yang kondusif. Beliau juga menekankan pentingnya untuk fokus pada keahlian kita karena tidak ada yang ahli di semua bidang. Dengan menjadi ahli di bidang yang kita geluti, terbuka peluang untuk bersinergi dengan bidang penelitian lainnya. Dalam meniti karir kita sebaiknya pandai melihat peluang dan cepat memanfaatkan. Setelah didapat, kita jalani dengan sebaik-baiknya.
Professor yang gemar bermain bulutangkis ini pun menambahkan ”Beranilah mengambil keputusan untuk melakukan perubahan dalam berkarir apabila memang kondisinya tidak seperti yang kita inginkan dan janganlah melakukan sesuatu yang memang tidak kita sukai”.
Dalam kesempatannya bertemu dengan mahasiswa Indonesia, Professor Yudi banyak memberikan jawaban dan saran atas beragam pertanyaan baik dari pertanyaan mengenai kesulitan pendanaan untuk riset di Indonesia, sistem yg kurang kondusif untuk perkembangan penelitian, birokrasi pemerintahan yang gemuk dan peran universitas untuk riset. Tak lupa ia banyak memberikan pesan-pesan moral tentang berbagai hal yang terkait pendidikan, tips menjadi peneliti yang baik, mengatasi kejenuhan dan menghadapi kegagalan.
Di tengah gelapnya musim gugur dan hujan yang turun mengguyur Gothenburg, hal ini sama sekali tidak mengurangi kehangatan perjumpaan kami dengan Professor Yudi Pawitan. Tak terasa 5 jam sudah kami berbincang dengan berbagai topik yang lebih luas mulai dari statistik, lalu lintas di Indonesia, sampai masalah politik nasional. Semoga Professor Yudi Pawitan sehat selalu dan terus berkarya demi peradaban umat manusia.
Natanel Yuyun Suryadi dan Muhammad Mufti Azis Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Swedia di Gothenburg
Source: http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/kabar/11/12/07/lvtoex-yudi-pawitan-sosok-sederhana-yang-menginspirasi
Selasa, 06 Desember 2011
A letter from Mom and Dad
Sedih dan jatuh air mataku..
Senin, 05 Desember 2011
Laki-laki Sejati
Ini kisah nyata. Benar-benar terjadi di atas muka bumi. Telah ditulis
dengan tinta emas oleh banyak sejarahwan dalam buku-buku mereka.
Sebuah kisah nyata tentang lelaki-lelaki sejati di masa Umar bin Khattab ra.
Dimasa Kekhalifahan Umar bin Khattab, ada seorang pemuda yang
mengarungi padang pasir untuk menunaikan umrah di Tanah Suci. Pemuda
itu tiba di sebuah oasis di pinggir sebuah permukiman penduduk. Ia
berhenti dan istirahat. Karena kelelahan pemuda itu tertidur.
Ketika pemuda itu tidur , tali pengikat untanya lepas. Dan unta itu,
tanpa sepengetahuan pemuda berjalan mencari makan, karena kelaparan.
Unta itu masuk kesebuah kebun yang suburtak jauh dari tempat itu.
Penjaga kebun itu adalah seorang kakek. Unta itu tak ayal lagi. Karena
kelaparan, memakan dan merusak tanaman kebun itu.
Sang kakek berusaha mengusir unta itu. Tapi sang unta itu tidak mau
beranjak dari tempatnya. Karena panik dan takut dimarahi tuannya,
sang kakek memukul unta itu.Dan atas kehendak Allah, unta itu mati.
Sang kakek semakin panik dan cemas, apalagi pemuda pemilik unta itu
terbangun dan mendapati untanya telah mati.
Karena tidak ada orang lain selain kakek itu di dekat bangkai unta,
pemuda itu berprasangka bahwa kakek tua itulah yang membunuh untanya.
Dan kaket itu mengakuinya setelah sang pemuda mengintrogasinya.
Seketika itu sang pemuda marah besar dan gelap mata. Ia memukul kakek
itu dengan pemukul yang digunakan untuk memukuli untanya. Dan kakek itu tewas.
Pemuda itu sangat panik dan menyesal ketika mengetahui kekhilafannya.
Ia tidak berniat membunuh kakek itu, hanya marah besar.Tiba-tiba
datanglah dua pemuda yang tak lain anak sikakek . Mereka terkejut
melihat ayahnya mati dan ditempat itu hanya ada sipemuda. Akhirnya
tahulah kedua anak kakek itu,bahwa ayahnya dibunuh oleh sipemuda itu.
Mereka lalu menangkap si pemuda dan menyeretnya kehadapan Umar bin
Khattab untuk diadili.
Sang pemuda mengakui perbuatannya dan Umar pun menjatuhi hukuman mati
( Qishash) untuk pemuda itu. Namun, sang pemuda minta penangguhan
eksekusi hukuman, karena ia harus memberi tahu keluarganya dan
menyelesaikan utangnya yang belum tuntas dikampungnya. Umar pun
bersedia mengabulkan permintaaan pemuda itu dengan syarat ada yang
bersedia menjadi penjamin pemuda itu.
Pemuda itu cemas dan bingung. Siapa yang mau jadi penjaminnya?ia tidak
punya kenalan dan kerabat didaerah itu. Bagaimana mungkin akan ada
orang yang bersedia mempertaruhkan nyawanya untuk menjadi penjaminnya.
Tiba-tiba ada orang lelaki maju dan berkata kepada Umar, " Wahai
Amirul Mu'minin, saya bersedia menjamin pemuda ini." Umar kaget, Ia
menatap tajam lelaki itu yang tak lain adalah Abu Dzar Al Ghiffari ra.
Umar berkata dengan nada serius, " Abu Dzar, sadarkah kamu dengan
resiko kesediaan mu menjadi penjamin pemuda ini?"
Dengan tegas Abu Dzar menjawab,' Ya saya sadar. Saya siap menanggung resikonya."
Umar lalu berkata kepada pemuda itu," Hai anak muda kau telah memiliki
penjamin. Sekarang Pulanglah. Selesaikan urusanmu dan segera
kembalilah kesini untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu."
Pada hari yang telah ditentukan, masyarakat sudah berkumpul di lokasi
pelaksanaan eksekusi hukuman Qishash, Abu Dzar. Hari semakin panas,
siang semakin terik, dan pemuda itu belum juga ada tanda-tand datang.
Ketika hari memasuki sore, dan pemuda itu belum juga datang.,
Masyarakat riuh membicarakan kebodohan Abu Dzar yang bersedia menjadi
penjamin orang asing yang tidak dikenal. Masyarakat juga cemas, jika
sampai matahari tenggelam dan pemuda itu belum juga datang, maka Abu
Dzar harus menggantikan pemuda itu untuk dipancung.
Namun, Abu Dzar tetap tenang. Dengan rasa tawakal yang tinggi kepada
Allah ia menunggu detik2 matahari semakin dekat keperaduannya. Dan
matahari tenggelam, pemuda itu belum datang. Maka eksekusi harus
dijalankan. Dengan tenang Abu Dzar maju ketempat eksekusi. Algojo
disiapkan. Banyak yang menangis melihata Abu Dzar siap dihukum mati
untuk dosa yang tidak dilakukannya.
Dan, ketika algojo sudah mengangkat tangannya dengan pedang terhunus
siap ditebaskan ke leher Abu Dzar, seorang penduduk berteriak. Ia
melihat di kejahuan ada bayangan dan kepulan debu. Ada yang datang.
Ia meminta ditunggu sebentar sampai jelas siapa yang datang. Semua
menoleh kebayangan itu termasuk Umar bin Khatab ra. Umar minta agar
yang datang ditunggu dulu.
Bayangan itu semakin dekat. Dan ternyata yang datang adalah pemuda itu
untuk memenuhi tanggung jawabnya. Semua orang berdecak takjub dan
haru. Bisa saja pemuda itumelarikan diri dari hukuman mati. Tapi ia
tetap datang. Dengan napas terengah-engah pemuda itu minta maaf atas
keterlambatannya karena ada halangan dijalan. Karena kagum pada
kejujuran pemuda itu, Umar bertanya," Wahai pemuda, aku kagum padamu.
Kenapa engkau memilih datang padahal kau bisa saja lari dari hukuman mati?'
Pemuda itu menjawab,: Wahai amirul Mu'min, alasanya sederhana saja.
AKu tidak mau ada yang mengatakan bahwa tidak ada lagi lelaki-lelaki
sejati dikalangan umat muslim yang dengan ksatria berani
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Ia juga bagaimana mungkin saya
tega membiarkan orang lain tidak bersalah yang rela menjadi
penjaminku mati karena perbuatanku."
Lalu umar menoleh kepada Abu Dzar dan bertanya,"Dan kamu Abu Dzar, apa
yang membuatmu yakin untuk menjadi penjamin pemuda asing ini dan kamu
siap menggantikan dirinya untuk dihukum mati jika dia tidak datang?"
Abu Dzar menjawab," aku melakukan ini agar tidak ada yang mengatakan
bahwa tidak ada lelaki sejati dikalangan umat islam yang bersedia
menolong saudaranya yang membutuhkan pertolongan. AKu tidak merasa
rugi di hadapan Allah. Kalau pemuda itu tidak datang dan aku harus
mati menggantikannya, kematianku syahid di jalan Allah, karena aku
memang tidak bersalah."
Umar bin Khatab ra diliputi rasa kagum dan haru. Dia lalu memutuskan
untuk segera mengeksekusi pemuda itu sebelum waktu salat mahgrib
habis. Tiba-tiba ada yang berteriak" Tunggu wahai amirul mu'min,
bolehkan kami minta agar pemuda ini dibebskan dari hukuman mati?!
yang berteriak itu adalah dua pemuda anak kakek yang tebunuh itu.
Umar menjawab," Apa yang membuat kalian minta pembatalan hukuman ini?"
Mereka menjawab," sungguh kami kagum dengan dua lelaki sejati ini
izinkan kami memafkan pemuda yang saleh yang jujur ini. kami tidak
ingin ada yang mengatakan bahwa dikalangan umat islam tiada lelaki
sejati yang memaafkan kesalahan. Bukankah Al'quran membolehkan bagi
ahli waris untuk memberi maaf dan membatalkan Qishash pada seorang
yang melakukan pembunuhan? kami rasa pemuda saleh ini pantas untuk kami
maafkan."
Seketika gemuruh takbir dan tahmid berkumandang. Seluruh masyarakat
yang menyaksikan peristiwa itu takjub dengan mata berkaca-kaca.
Mereka terharu menyaksikan tingginya ahlak dalam jiwa lelaki-lelaki
sejati yang berjiwa ksatria itu.
Setiap kali teringat kisah nyata ini, saya sering bertanya-tanya masih
adakah lelaki-lelaki sejati berjiwa ksatria di negeri ini? Semoga
masih ada, sebab sejarah menulis bahwa besar adalah bangsa yang
dihuni oleh lelaki-lelaki sejati bukan para pecundang dan pengecut.
Besarnya suatu bangsa tidak dilihat dari jumlah penduduknya tapi
dilihat dari jumlah manusia-manusia berjiwa ksatria dan berahlak
mulia. Manusia-manusia berkarakter dan berjiwa besar. Semoga mereka
masih ada di indonesia. AMin
dengan tinta emas oleh banyak sejarahwan dalam buku-buku mereka.
Sebuah kisah nyata tentang lelaki-lelaki sejati di masa Umar bin Khattab ra.
Dimasa Kekhalifahan Umar bin Khattab, ada seorang pemuda yang
mengarungi padang pasir untuk menunaikan umrah di Tanah Suci. Pemuda
itu tiba di sebuah oasis di pinggir sebuah permukiman penduduk. Ia
berhenti dan istirahat. Karena kelelahan pemuda itu tertidur.
Ketika pemuda itu tidur , tali pengikat untanya lepas. Dan unta itu,
tanpa sepengetahuan pemuda berjalan mencari makan, karena kelaparan.
Unta itu masuk kesebuah kebun yang suburtak jauh dari tempat itu.
Penjaga kebun itu adalah seorang kakek. Unta itu tak ayal lagi. Karena
kelaparan, memakan dan merusak tanaman kebun itu.
Sang kakek berusaha mengusir unta itu. Tapi sang unta itu tidak mau
beranjak dari tempatnya. Karena panik dan takut dimarahi tuannya,
sang kakek memukul unta itu.Dan atas kehendak Allah, unta itu mati.
Sang kakek semakin panik dan cemas, apalagi pemuda pemilik unta itu
terbangun dan mendapati untanya telah mati.
Karena tidak ada orang lain selain kakek itu di dekat bangkai unta,
pemuda itu berprasangka bahwa kakek tua itulah yang membunuh untanya.
Dan kaket itu mengakuinya setelah sang pemuda mengintrogasinya.
Seketika itu sang pemuda marah besar dan gelap mata. Ia memukul kakek
itu dengan pemukul yang digunakan untuk memukuli untanya. Dan kakek itu tewas.
Pemuda itu sangat panik dan menyesal ketika mengetahui kekhilafannya.
Ia tidak berniat membunuh kakek itu, hanya marah besar.Tiba-tiba
datanglah dua pemuda yang tak lain anak sikakek . Mereka terkejut
melihat ayahnya mati dan ditempat itu hanya ada sipemuda. Akhirnya
tahulah kedua anak kakek itu,bahwa ayahnya dibunuh oleh sipemuda itu.
Mereka lalu menangkap si pemuda dan menyeretnya kehadapan Umar bin
Khattab untuk diadili.
Sang pemuda mengakui perbuatannya dan Umar pun menjatuhi hukuman mati
( Qishash) untuk pemuda itu. Namun, sang pemuda minta penangguhan
eksekusi hukuman, karena ia harus memberi tahu keluarganya dan
menyelesaikan utangnya yang belum tuntas dikampungnya. Umar pun
bersedia mengabulkan permintaaan pemuda itu dengan syarat ada yang
bersedia menjadi penjamin pemuda itu.
Pemuda itu cemas dan bingung. Siapa yang mau jadi penjaminnya?ia tidak
punya kenalan dan kerabat didaerah itu. Bagaimana mungkin akan ada
orang yang bersedia mempertaruhkan nyawanya untuk menjadi penjaminnya.
Tiba-tiba ada orang lelaki maju dan berkata kepada Umar, " Wahai
Amirul Mu'minin, saya bersedia menjamin pemuda ini." Umar kaget, Ia
menatap tajam lelaki itu yang tak lain adalah Abu Dzar Al Ghiffari ra.
Umar berkata dengan nada serius, " Abu Dzar, sadarkah kamu dengan
resiko kesediaan mu menjadi penjamin pemuda ini?"
Dengan tegas Abu Dzar menjawab,' Ya saya sadar. Saya siap menanggung resikonya."
Umar lalu berkata kepada pemuda itu," Hai anak muda kau telah memiliki
penjamin. Sekarang Pulanglah. Selesaikan urusanmu dan segera
kembalilah kesini untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu."
Pada hari yang telah ditentukan, masyarakat sudah berkumpul di lokasi
pelaksanaan eksekusi hukuman Qishash, Abu Dzar. Hari semakin panas,
siang semakin terik, dan pemuda itu belum juga ada tanda-tand datang.
Ketika hari memasuki sore, dan pemuda itu belum juga datang.,
Masyarakat riuh membicarakan kebodohan Abu Dzar yang bersedia menjadi
penjamin orang asing yang tidak dikenal. Masyarakat juga cemas, jika
sampai matahari tenggelam dan pemuda itu belum juga datang, maka Abu
Dzar harus menggantikan pemuda itu untuk dipancung.
Namun, Abu Dzar tetap tenang. Dengan rasa tawakal yang tinggi kepada
Allah ia menunggu detik2 matahari semakin dekat keperaduannya. Dan
matahari tenggelam, pemuda itu belum datang. Maka eksekusi harus
dijalankan. Dengan tenang Abu Dzar maju ketempat eksekusi. Algojo
disiapkan. Banyak yang menangis melihata Abu Dzar siap dihukum mati
untuk dosa yang tidak dilakukannya.
Dan, ketika algojo sudah mengangkat tangannya dengan pedang terhunus
siap ditebaskan ke leher Abu Dzar, seorang penduduk berteriak. Ia
melihat di kejahuan ada bayangan dan kepulan debu. Ada yang datang.
Ia meminta ditunggu sebentar sampai jelas siapa yang datang. Semua
menoleh kebayangan itu termasuk Umar bin Khatab ra. Umar minta agar
yang datang ditunggu dulu.
Bayangan itu semakin dekat. Dan ternyata yang datang adalah pemuda itu
untuk memenuhi tanggung jawabnya. Semua orang berdecak takjub dan
haru. Bisa saja pemuda itumelarikan diri dari hukuman mati. Tapi ia
tetap datang. Dengan napas terengah-engah pemuda itu minta maaf atas
keterlambatannya karena ada halangan dijalan. Karena kagum pada
kejujuran pemuda itu, Umar bertanya," Wahai pemuda, aku kagum padamu.
Kenapa engkau memilih datang padahal kau bisa saja lari dari hukuman mati?'
Pemuda itu menjawab,: Wahai amirul Mu'min, alasanya sederhana saja.
AKu tidak mau ada yang mengatakan bahwa tidak ada lagi lelaki-lelaki
sejati dikalangan umat muslim yang dengan ksatria berani
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Ia juga bagaimana mungkin saya
tega membiarkan orang lain tidak bersalah yang rela menjadi
penjaminku mati karena perbuatanku."
Lalu umar menoleh kepada Abu Dzar dan bertanya,"Dan kamu Abu Dzar, apa
yang membuatmu yakin untuk menjadi penjamin pemuda asing ini dan kamu
siap menggantikan dirinya untuk dihukum mati jika dia tidak datang?"
Abu Dzar menjawab," aku melakukan ini agar tidak ada yang mengatakan
bahwa tidak ada lelaki sejati dikalangan umat islam yang bersedia
menolong saudaranya yang membutuhkan pertolongan. AKu tidak merasa
rugi di hadapan Allah. Kalau pemuda itu tidak datang dan aku harus
mati menggantikannya, kematianku syahid di jalan Allah, karena aku
memang tidak bersalah."
Umar bin Khatab ra diliputi rasa kagum dan haru. Dia lalu memutuskan
untuk segera mengeksekusi pemuda itu sebelum waktu salat mahgrib
habis. Tiba-tiba ada yang berteriak" Tunggu wahai amirul mu'min,
bolehkan kami minta agar pemuda ini dibebskan dari hukuman mati?!
yang berteriak itu adalah dua pemuda anak kakek yang tebunuh itu.
Umar menjawab," Apa yang membuat kalian minta pembatalan hukuman ini?"
Mereka menjawab," sungguh kami kagum dengan dua lelaki sejati ini
izinkan kami memafkan pemuda yang saleh yang jujur ini. kami tidak
ingin ada yang mengatakan bahwa dikalangan umat islam tiada lelaki
sejati yang memaafkan kesalahan. Bukankah Al'quran membolehkan bagi
ahli waris untuk memberi maaf dan membatalkan Qishash pada seorang
yang melakukan pembunuhan? kami rasa pemuda saleh ini pantas untuk kami
maafkan."
Seketika gemuruh takbir dan tahmid berkumandang. Seluruh masyarakat
yang menyaksikan peristiwa itu takjub dengan mata berkaca-kaca.
Mereka terharu menyaksikan tingginya ahlak dalam jiwa lelaki-lelaki
sejati yang berjiwa ksatria itu.
Setiap kali teringat kisah nyata ini, saya sering bertanya-tanya masih
adakah lelaki-lelaki sejati berjiwa ksatria di negeri ini? Semoga
masih ada, sebab sejarah menulis bahwa besar adalah bangsa yang
dihuni oleh lelaki-lelaki sejati bukan para pecundang dan pengecut.
Besarnya suatu bangsa tidak dilihat dari jumlah penduduknya tapi
dilihat dari jumlah manusia-manusia berjiwa ksatria dan berahlak
mulia. Manusia-manusia berkarakter dan berjiwa besar. Semoga mereka
masih ada di indonesia. AMin
Sabtu, 03 Desember 2011
Teman Sesungguhnya
Sewaktu kita duduk di taman kanak-kanak, kita berpikir kalau seorang teman yang
baik adalah teman yang meminjamkan krayon warna merah ketika yang ada hanyalah
krayon warna hitam.
Di sekolah dasar, kita lalu menemukan bahwa seorang teman yang baik adalah teman
yang mau menemani kita ke toilet, menggandeng tangan kita sepanjang koridor
menuju kelas, membagi makan siangnya dengan kita ketika kita lupa membawanya.
Di sekolah lanjutan pertama, kita punya ide kalau seorang teman yang baik adalah
teman yang mau menyontekkan PR-nya pada kita, pergi bersama ke pesta dan
menemani kita makan siang.
Di SMA, kita merasa kalau seorang teman yang baik adalah teman yang mengajak
kita mengendarai mobil barunya, meyakinkan orang tua kita kalau kita boleh
pulang malam sedikit, mau mendengar kisah sedih saat kita putus dari pacar.
Di masa berikutnya, kita melihat kalau seorang teman yang baik adalah teman yang
selalu ada terutama di saat-saat sulit kita, membuat kita merasa aman melalui
masa-masa seperti apapun, meyakinkan kita kalau kita akan lulus dalam ujian
sidang sarjana kita.
Dan seiring berjalannya waktu kehidupan, kita menemukan kalau seorang teman yang
baik adalah teman yang selalu memberi kita dua pilihan yang baik, merangkul kita
ketika kita menghadapi masalah yang menakutkan, membantu kita bertahan
menghadapi orang-orang yang hanya mau mengambil keuntungan dari kita, menegur
ketika kita melalaikan sesuatu, mengingatkan ketika kita lupa, membantu
meningkatkan percaya diri kita, serta menolong kita untuk menjadi seseorang yang
lebih baik.
Dan terlebih lagi, menerima diri kita apa adanya.
baik adalah teman yang meminjamkan krayon warna merah ketika yang ada hanyalah
krayon warna hitam.
Di sekolah dasar, kita lalu menemukan bahwa seorang teman yang baik adalah teman
yang mau menemani kita ke toilet, menggandeng tangan kita sepanjang koridor
menuju kelas, membagi makan siangnya dengan kita ketika kita lupa membawanya.
Di sekolah lanjutan pertama, kita punya ide kalau seorang teman yang baik adalah
teman yang mau menyontekkan PR-nya pada kita, pergi bersama ke pesta dan
menemani kita makan siang.
Di SMA, kita merasa kalau seorang teman yang baik adalah teman yang mengajak
kita mengendarai mobil barunya, meyakinkan orang tua kita kalau kita boleh
pulang malam sedikit, mau mendengar kisah sedih saat kita putus dari pacar.
Di masa berikutnya, kita melihat kalau seorang teman yang baik adalah teman yang
selalu ada terutama di saat-saat sulit kita, membuat kita merasa aman melalui
masa-masa seperti apapun, meyakinkan kita kalau kita akan lulus dalam ujian
sidang sarjana kita.
Dan seiring berjalannya waktu kehidupan, kita menemukan kalau seorang teman yang
baik adalah teman yang selalu memberi kita dua pilihan yang baik, merangkul kita
ketika kita menghadapi masalah yang menakutkan, membantu kita bertahan
menghadapi orang-orang yang hanya mau mengambil keuntungan dari kita, menegur
ketika kita melalaikan sesuatu, mengingatkan ketika kita lupa, membantu
meningkatkan percaya diri kita, serta menolong kita untuk menjadi seseorang yang
lebih baik.
Dan terlebih lagi, menerima diri kita apa adanya.
Selasa, 11 Oktober 2011
If you can survive, you must remember that I love you
This is a true story of a Mother’s Sacrifice during the China Earthquake.
After the Earthquake had subsided, when the rescuers reached the ruins of a young woman’s house, they saw her dead body through the cracks. But her pose was somehow strange that she knelt on her knees like a person was worshiping; her body was leaning forward, and her two hands were supporting by an object. The collapsed house had crashed her back and her head.
With so many difficulties, the leader of the rescuer team put his hand through a narrow gap on the wall to reach the woman’s body. He was hoping that this woman could be still alive. However, the cold and stiff body told him that she had passed away for sure.
He and the rest of the team left this house and were going to search the next collapsed building. For some reasons, the team leader was driven by a compelling force to go back to the ruin house of the dead woman. Again, he knelt down and used his had through the narrow cracks to search the little space under the dead body. Suddenly, he screamed with excitement, “A child ! There is a child !“
The whole team worked together; carefully they removed the piles of ruined objects around the dead woman. There was a 3 months old little boy wrapped in a flowery blanket under his mother’s dead body. Obviously, the woman had made an ultimate sacrifice for saving her son. When her house was falling, she used her body to make a cover to protect her son. The little boy was still sleeping peacefully when the team leader picked him up.
The medical doctor came quickly to exam the little boy. After he opened the blanket, he saw a cell phone inside the blanket. There was a text message on the screen. It said, “If you can survive, you must remember that I love you.” This cell phone was passing around from one hand to another. Every body that read the message wept. “If you can survive, you must remember that I love you.” Such is the mother’s love for her child !!
Minggu, 09 Oktober 2011
I have learned...
I’ve learned-
that you cannot make someone love you. All you can do is be someone who can be loved. The rest is up to them.
that you cannot make someone love you. All you can do is be someone who can be loved. The rest is up to them.
I’ve learned-
that no matter how much I care, some people just don’t care back.
that no matter how much I care, some people just don’t care back.
I’ve learned-
that it takes years to build up trust, and only seconds to destroy it.
that it takes years to build up trust, and only seconds to destroy it.
I’ve learned-
that no matter how good a friend is, they’re going to hurt you every once in a while and you must forgive them for that.
that no matter how good a friend is, they’re going to hurt you every once in a while and you must forgive them for that.
I’ve learned-
that it’s not what you have in your life but who you have in your life that counts.
that it’s not what you have in your life but who you have in your life that counts.
I’ve learned-
that you should never ruin an apology with an excuse.
that you should never ruin an apology with an excuse.
I’ve learned-
that you can get by on charm for about fifteen minutes. After that, you’d better know something.
that you can get by on charm for about fifteen minutes. After that, you’d better know something.
I’ve learned-
that you shouldn’t compare yourself to the best others can do.
that you shouldn’t compare yourself to the best others can do.
I’ve learned-
that you can do something in an instant that will give you heartache for life.
that you can do something in an instant that will give you heartache for life.
I’ve learned-
that it’s taking me a long time to become the person I want to be.
that it’s taking me a long time to become the person I want to be.
I’ve learned-
that you should always leave loved ones with loving words. It may be the last time you see them.
that you should always leave loved ones with loving words. It may be the last time you see them.
I’ve learned-
that you can keep going long after you can’t.
that you can keep going long after you can’t.
I’ve learned-
that we are responsible for what we do, no matter how we feel.
that we are responsible for what we do, no matter how we feel.
I’ve learned-
that either you control your attitude or it controls you.
that either you control your attitude or it controls you.
I’ve learned-
that regardless of how hot and steamy a relationship is at first, the passion fades and there had better be something else to take its place.
that regardless of how hot and steamy a relationship is at first, the passion fades and there had better be something else to take its place.
I’ve learned-
that heroes are the people who do what has to be done when it needs to be done, regardless of the consequences.
that heroes are the people who do what has to be done when it needs to be done, regardless of the consequences.
I’ve learned-
that money is a lousy way of keeping score.
that money is a lousy way of keeping score.
I’ve learned-
that my best friend and I can do anything or nothing and have the best time.
that my best friend and I can do anything or nothing and have the best time.
I’ve learned-
that sometimes the people you expect to kick you when you’re down will be the ones to help you get back up.
that sometimes the people you expect to kick you when you’re down will be the ones to help you get back up.
I’ve learned-
that sometimes when I’m angry I have the right to be angry, but that doesn’t give me the right to be cruel.
that sometimes when I’m angry I have the right to be angry, but that doesn’t give me the right to be cruel.
I’ve learned-
that true friendship continues to grow, even over the longest distance. Same goes for true love.
that true friendship continues to grow, even over the longest distance. Same goes for true love.
I’ve learned-
that just because someone doesn’t love you the way you want them to doesn’t mean they don’t love you with all they have.
that just because someone doesn’t love you the way you want them to doesn’t mean they don’t love you with all they have.
I’ve learned-
that maturity has more to do with what types of experiences you’ve had and what you’ve learned from them and less to do with how many birthdays you’ve celebrated.
that maturity has more to do with what types of experiences you’ve had and what you’ve learned from them and less to do with how many birthdays you’ve celebrated.
I’ve learned-
that you should never tell a child their dreams are unlikely or outlandish. Few things are more humiliating, and what a tragedy it would be if they believed it.
that you should never tell a child their dreams are unlikely or outlandish. Few things are more humiliating, and what a tragedy it would be if they believed it.
I’ve learned-
that your family won’t always be there for you. It may seem funny, but people you aren’t related to can take care of you and love you and teach you to trust people again. Families aren’t biological.
that your family won’t always be there for you. It may seem funny, but people you aren’t related to can take care of you and love you and teach you to trust people again. Families aren’t biological.
I’ve learned-
that it isn’t always enough to be forgiven by others. Sometimes you are to learn to forgive yourself.
that it isn’t always enough to be forgiven by others. Sometimes you are to learn to forgive yourself.
I’ve learned-
that no matter how bad your heart is broken the world doesn’t stop for your grief.
that no matter how bad your heart is broken the world doesn’t stop for your grief.
I’ve learned-
that our background and circumstances may have influenced who we are, but we are responsible for who we become.
that our background and circumstances may have influenced who we are, but we are responsible for who we become.
I’ve learned-
that a rich person is not the one who has the most, but is one who needs the least.
that a rich person is not the one who has the most, but is one who needs the least.
I’ve learned-
that just because two people argue, it doesn’t mean they don’t love each other. And just because they don’t argue, it doesn’t mean they do.
that just because two people argue, it doesn’t mean they don’t love each other. And just because they don’t argue, it doesn’t mean they do.
I’ve learned-
that we don’t have to change friends if we understand that friends change.
that we don’t have to change friends if we understand that friends change.
I’ve learned-
that you shouldn’t be so eager to find out a secret. It could change your life forever.
that you shouldn’t be so eager to find out a secret. It could change your life forever.
I’ve learned-
that two people can look at the exact same thing and see something totally different.
that two people can look at the exact same thing and see something totally different.
I’ve learned-
that no matter how you try to protect your children, they will eventually get hurt and you will hurt in the process.
that no matter how you try to protect your children, they will eventually get hurt and you will hurt in the process.
I’ve learned-
that even when you think you have no more to give, when a friend cries out to you, you will find the strength to help.
that even when you think you have no more to give, when a friend cries out to you, you will find the strength to help.
I’ve learned-
that credentials on the wall do not make you a decent human being.
that credentials on the wall do not make you a decent human being.
I’ve learned-
that the people you care about most in life are taken from you too soon.
that the people you care about most in life are taken from you too soon.
I’ve learned-
that it’s hard to determine where to draw the line between being nice and not hurting people’s feelings, and standing up for what you believe.
that it’s hard to determine where to draw the line between being nice and not hurting people’s feelings, and standing up for what you believe.
I’ve learned-
that people will forget what you said, and people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel.
that people will forget what you said, and people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel.
Sabtu, 08 Oktober 2011
Steve Jobs: "Anda harus menemukan apa yang Anda cintai"
Sejak pagi tadi CNN non-stop menyiarkan acara mengenang Steve Jobs, salah satunya adalah cuplikan pidato terkenal Jobs pada acara wisuda di Standford University (a forward from milis).
Stanford Report, June 14, 2005
Steve Jobs: "Anda harus menemukan apa yang Anda cintai"
Ini adalah teks yang disampaikan oleh Steve Jobs, CEO Apple Computer dan Pixar Animation Studios, pada tanggal 12 Juni 2005.
Saya merasa terhormat berada bersama Anda hari ini, pada hari wisuda Anda di salah satu universitas terbaik di dunia. Saya tidak pernah lulus dari perguruan tinggi. Sejujurnya, ini adalah saat terdekat saya merasakan suasana wisuda. Hari ini saya ingin menyampaikan tiga cerita pengalaman hidup saya. Itu saja. Bukan masalah besar. Hanya tiga cerita.
Cerita pertama adalah tentang menghubungkan titik-titik.
Saya drop out dari Reed College setelah 6 bulan pertama, tetapi kemudian tetap tinggal sebagai drop-in selama 18 bulan atau lebih sebelum saya benar-benar berhenti. Jadi, mengapa saya drop out?
Ini dimulai sebelum saya lahir. Ibu kandung saya adalah seorang mahasiswi muda dan belum menikah, dan dia memutuskan untuk memberikan saya kepada seseorang untuk diadopsi. Dia merasa sangat penting bahwa saya harus diadopsi oleh keluarga sarjana, jadi semuanya sudah siap bagi saya untuk diadopsi pada saat lahir oleh seorang pengacara dan istrinya. Kecuali bahwa ketika saya lahir, mereka berubah pikiran pada menit terakhir bahwa mereka ingin bayi perempuan. Maka orang tua angkat saya, yang ada di daftar urut berikutnya mendapatkan telepon di tengah malam yang menanyakan: "Kami memiliki bayi laki-laki yang tak terduga, apakah Anda berminat?"
Mereka berkata: "Tentu saja." Ibu kandung saya, kemudian mengetahui bahwa ibu angkat saya tidak lulus kuliah dan ayah angkat saya tidak lulus SMA. Dia menolak untuk menandatangani surat adopsi akhir. Sikapnya baru melunak beberapa bulan kemudian, ketika orang tua angkat saya berjanji akan menyekolahkan saya sampai perguruan tinggi.
Dan 17 tahun kemudian saya memang pergi ke perguruan tinggi. Tapi saya naif memilih universitas yang hampir sama mahalnya dengan Stanford, sehingga seluruh tabungan "kelas pekerja" orang tua saya habis untuk biaya kuliah saya. Setelah enam bulan, saya tidak bisa melihat nilai di dalamnya. saya tidak tahu apa yang ingin saya lakukan dengan hidup saya dan bagaimana kuliah akan membantu saya menemukannya. Dan di sini saya sudah menghabiskan seluruh tabungan seumur hidup orang tua angkat saya. Jadi saya memutuskan untuk drop out dan percaya bahwa semuanya akan bekerja keluar OK. Saat itu cukup mengerikan, tapi melihat ke belakang itu adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah dibuat. Menit pertama saya drop out saya bisa berhenti mengambil kelas-kelas disyaratkan yang tidak menarik minat saya, dan bisa memulai hal-hal baru yang kelihatan menarik.
Memang tidak semuanya romantis. Saya tidak punya kamar kos sehingga harus nebeng tidur di lantai kamar teman-teman, saya mengembalikan botol coca-cola bekas untuk mendapatkan kembalian 5 sen untuk membeli makanan, dan saya akan berjalan 7 mil melintasi kota setiap Minggu malam untuk mendapatkan seporsi makanan yang pantas setiap seminggu sekali di Kuil Hare Krishna. Saya menyukainya. Dan banyak hal yang saya temui saat itu karena mengikuti rasa penasaran dan intuisi, dan ternyata kemudian sangat berharga. Biarkan saya memberi Anda satu contoh:
Reed College pada waktu itu mengajarkan kaligrafi terbaik, mungkin terbaik di negeri ini. Setiap poster, setiap label di laci adalah kaligrafi indah dibuat dengan tangan. Karena sudah Drop Out dan tidak harus mengambil kelas normal, saya memutuskan untuk mengambil kelas kaligrafi untuk belajar bagaimana membuat kaligrafi. Saya belajar tentang huruf serif dan san serif tipografi, tentang memvariasikan jumlah spasi antara kombinasi huruf yang berbeda, tentang apa yang membuat tipografi yang hebat. Itu indah, bersejarah, artistik halus dalam cara yang berbeda dengan sains, dan saya menemukan hal menarik.
Tak pernah dibayangkan sebelumnya bahwa semua hal tersebut akan dipraktekkan dalam hidup saya. Namun sepuluh tahun kemudian, ketika kami mendisain komputer Macintosh yang pertama, semua kembali kepada saya. Dan kami merancang itu semua ke dalam Mac. Ini adalah komputer pertama dengan tipografi yang indah. Seandainya saya tidak Drop out dan mengambil kelas kaligrafi, Mac tidak akan memiliki tipografi ganda atau spasi huruf proporsional. Dan karena Windows menjiplak Mac, kemungkinan bahwa tidak ada komputer pribadi yang akan memilikinya. Seandainya saya tidak Drop Out, saya tidak akan pernah jatuh di kelas kaligrafi ini, dan PC mungkin tidak akan memiliki tipografi yang indah yang mereka buat. Tentu saja mustahil untuk menghubungkan titik-titik itu sewaktu saya masih kuliah. Tapi itu sangat, sangat gamblang setelah sepuluh tahun kemudian.
Sekali lagi, Anda tidak dapat menghubungkan titik-titik jika hanya melihat ke depan, Anda hanya bisa melakukannya dengan merenung ke belakang. Jadi, Anda harus percaya bahwa titik-titik Anda bagaimana pun akan terangkai di masa mendatang. Anda harus percaya pada sesuatu - intuisi, takdir, hidup, karma, apapun. Pendekatan ini tidak pernah mengecewakan saya, dan itu telah membuat semua perbedaan dalam kehidupan saya.
Cerita kedua saya adalah tentang cinta dan kehilangan.
Saya beruntung - saya menemukan apa yang saya sukai sejak masih muda. Woz dan saya memulai Apple di garasi orang tua saya ketika saya berumur 20. Kami bekerja keras dan dalam 10 tahun Apple berkembang dari hanya kami berdua di garasi menjadi perusahaan 2 milyar dolar dengan 4000 karyawan. Kami baru meluncurkan produk terbaik kami - Macintosh - setahun sebelumnya, dan saya baru menginjak usia 30. Dan saya dipecat. Bagaimana mungkin Anda dipecat dari perusahaan yang Anda dirikan? Yah, seperti pertumbuhan Apple, kami merekrut orang yang saya pikir sangat berkompeten untuk menjalankan perusahaan bersama saya, dan untuk tahun pertama, semua berjalan lancar. Tapi kemudian visi kami mengenai masa depan mulai berbeda dan akhirnya kami sulit disatukan. Ketika itu, Dewan Direksi berpihak padanya. Jadi di usia 30 saya keluar. Dan sangat terbuka keluar. Apa yang menjadi fokus seluruh kehidupan dewasa saya telah hilang, dan itu menghancurkan.
Saya benar-benar tidak tahu apa yang harus lakukan selama beberapa bulan. Saya merasa bahwa saya telah mengecewakan generasi entrepreneur sebelumnya - bahwa saya telah menjatuhkan tongkat seperti yang diturunkan ke saya. Saya bertemu dengan David Packard dan Bob Noyce dan mencoba meminta maaf karena telah mengacaukan begitu buruk. Saya gagal di depan semua orang, dan bahkan berpikir untuk lari dari Silicon Valley. Tapi sesuatu perlahan mulai menyadarkan saya - saya masih menyukai pekerjaan saya. Apa yang terjadi di Apple sedikit pun tidak mengubah hal itu. Saya telah ditolak, namun saya tetap cinta. Jadi saya memutuskan untuk memulai kembali.
Saya belum menyadari pada saat itu, tapi ternyata bahwa dipecat dari Apple adalah kejadian terbaik yang pernah bisa terjadi pada saya. Beban berat sebagai orang sukses tergantikan oleh keleluasaan sebagai pemula lagi, ragu-ragu tentang segalanya. Hal itu mengantarkan saya untuk memasuki salah satu periode paling kreatif dalam hidup saya.
Selama lima tahun berikutnya, saya memulai sebuah perusahaan bernama NeXT, perusahaan lain bernama Pixar, dan jatuh cinta dengan wanita istimewa yang kemudian menjadi istri saya. Pixar bertumbuh menjadi perusahaan yang menciptakan komputer film animasi pertama, Toy Story, dan sekarang merupakan studio animasi paling sukses di dunia. Dalam gilirannya peristiwa luar biasa, Apple membeli NeXT, dan saya kembali ke Apple, dan teknologi yang kami kembangkan di NeXT menjadi jantung bagi kebangkitan kembali Apple. Dan, Laurene dan saya memiliki keluarga yang luar biasa.
Saya cukup yakin semua ini tidak akan terjadi bila saya tidak dipecat dari Apple. Obatnya memang pahit, namun sebagai pasien saya memerlukannya. Terkadang hidup memukul kepala Anda dengan batu bata. Jangan kehilangan keyakinan. Saya yakin bahwa satu-satunya yang membuat saya terus berusaha adalah karena saya menyukai apa yang saya lakukan. Anda harus menemukan apa yang Anda sukai. Benar-benar mencintai pekerjaan anda secara tulus seperti mencintai kekasih anda. Pekerjaan Anda akan mengisi sebagian besar hidup Anda, dan satu-satunya cara untuk benar-benar puas adalah meyakini bahwa pekerjaan anda adalah pekerjaan besar. Dan satu-satunya cara untuk melakukan pekerjaan besar adalah mencintai apa yang Anda lakukan. Jika Anda belum menemukannya, teruslah mencari. Jangan cepat puas. Karena ini adalah masalah perasaan, Anda akan tahu bila Anda telah menemukannya. Dan, seperti hubungan yang hebat, akan semakin baik dan lebih baik lagi bersama tahun yang bergulir. Jadi, teruslah mencari sampai Anda menemukannya. Jangan cepat puas.
Cerita ketiga saya adalah tentang kematian.
Ketika saya berumur 17, saya membaca ungkapan yang kurang lebih berbunyi: "Jika setiap hari Anda hidup seolah-olah itu adalah hari terakhirmu, maka suatu hari Anda akan paling pasti benar" Itu membuat kesan pada saya, dan sejak itu, selama 33 tahun terakhir, saya selalu melihat di cermin setiap pagi dan bertanya kepada diri sendiri: "Bila ini adalah hari terakhir saya, apakah saya ingin melakukan apa yang harus sayalakukan hari ini? " Dan jika jawabannya berhari-hari adalah "tidak" secara berturut-turut, saya tahu saya perlu mengubah sesuatu.
Mengingat bahwa saya akan segera mati adalah alat yang paling penting yang pernah saya temukan untuk membantu membuat keputusan besar dalam hidup. Karena hampir segala sesuatu - semua harapan eksternal, kebanggaan, takut malu atau gagal - hal-hal ini tidak ada artinya saat menghadapi kematian, meninggalkan hanya apa yang benar-benar penting. Mengingat bahwa Anda akan mati adalah cara terbaik yang saya tahu untuk menghindari jebakan berpikir Anda harus kehilangan sesuatu. Anda sudah telanjang. Tidak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hati Anda.
Sekitar setahun yang lalu saya didiagnosis mengidap kanker. Saya menjalani scan pukul 7:30 pagi dan hasilnya jelas menunjukkan saya memiliki tumor pankreas. saya bahkan tidak tahu apa sebuah pankreas. Para dokter mengatakan kepada saya bahwa hampir pasti jenisnya adalah kanker yang tidak dapat disembuhkan, dan bahwa saya harus mengharapkan hidup tidak lebih dari tiga sampai enam bulan. Dokter menyarankan saya pulang ke rumah dan membereskan semua urusan saya, yang merupakan isyarat dokter untuk mempersiapkan kematian. Ini berarti untuk mencoba memberitahu anak-anak Anda, semua hal - yang sebelumnya Anda pikir akan Anda sampaikan selama 10 tahun ke depan - dalam waktu beberapa bulan. Ini berarti untuk memastikan segalanya akan diatur sehingga akan semudah mungkin bagi keluarga Anda. Ini berarti mengucapkan selamat tinggal.
Saya hidup dengan diagnosa itu sepanjang hari. Malam itu saya dibiopsi, di mana mereka memasukkan endoskop ke tenggorokan saya, melalui perut saya dan ke dalam usus saya, menaruh jarum ke pankreas saya dan mendapat beberapa sel dari tumor. Saya dibius, namun istri saya, yang ada di sana, mengatakan bahwa ketika melihat selnya di bawah mikroskop, para dokter mulai menangis karena ternyata menjadi bentuk yang sangat jarang dari kanker pankreas yang dapat disembuhkan dengan operasi. Saya telah dioperasi dan saya baik-baik saja sekarang.
Ini adalah terdekat saya dengan kematian, dan saya berharap itu yang paling dekat saya dapatkan untuk beberapa dekade lagi. Setelah melalui pengalaman tersebut, sekarang saya bisa mengatakan ini dengan yakin kepada Anda, sedikit lebih daripada ketika kematian hanya murni berguna sebagai konsep intelektual:
Tidak ada orang yang ingin mati. Bahkan orang yang ingin masuk surga pun tidak ingin mati dulu untuk mencapainya. Namun kematian adalah tujuan kita semua. Tidak ada yang bisa mengelak. Dan, memang harus demikian, karena kematian adalah buah terbaik dari kehidupan. Ini adalah agen perubahan dalam kehidupan. Kematian membersihkan yang lama untuk membuat jalan bagi yang baru. Sekarang yang baru adalah Anda, tapi suatu hari tidak terlalu lama dari sekarang, Anda secara bertahap akan menjadi tua dan dibersihkan. Maaf bila terlalu dramatis, tetapi ini sangat benar.
Waktu Anda terbatas, jadi jangan sia-siakan hidup sebagai orang lain. Jangan terperangkap dengan dogma - yaitu hidup dengan hasil pemikiran orang lain. Jangan biarkan suara pendapat orang lain menenggelamkan suara batin Anda sendiri. Dan yang paling penting, miliki keberanian untuk mengikuti hati dan intuisi. Entah bagaimana hati dan intuisi Anda sudah tahu apa yang benar-benar Anda inginkan. Selain itu tidak penting.
Ketika saya masih muda, ada sebuah publikasi yang luar biasa disebut The Whole Earth Catalog, yang merupakan salah satu buku wajib dari generasi saya. Buku itu diciptakan oleh seorang bernama Stewart Brand yang tinggal tidak jauh dari sini, di Menlo Park, dan dia membuatnya sedemikian menarik dengan sentuhan puitisnya. Ini adalah akhir 1960-an, sebelum era komputer dan desktop publishing, jadi semuanya dibuat dengan mesin tik, gunting, dan kamera polaroid. Itu seperti Google dalam bentuk kertas, 35 tahun sebelum kelahiran Google: isinya idealis, dan penuh dengan alat-alat rapi dan ungkapan-ungkapan hebat.
Stewart dan timnya sempat menerbitkan beberapa edisi The Whole Earth Catalog, dan ketika mencapai akhirnya, mereka membuat edisi final. Saat itu pertengahan 1970-an, dan saya masih seusia Anda. Di sampul belakang edisi terakhir itu ada satu foto jalan pedesaan di pagi hari, di mana Anda bisa menumpang kendaraan jika Anda tipe petualang. Di bawahnya ada kata-kata: "Stay Hungry Stay Foolish" Itu adalah pesan perpisahan mereka . Stay Hungry. Stay foolish. Dan saya selalu mengharapkan diri saya seperti itu. Dan sekarang, karena Anda akan lulus untuk memulai kehidupan baru, saya juga mendoakan Anda.
Stay Hungry. Stay Foolish.
Thank you all very much.
Terjemahan dari http://news.stanford.edu/news/2005/june15/jobs-061505.html
Stanford Report, June 14, 2005
Steve Jobs: "Anda harus menemukan apa yang Anda cintai"
Ini adalah teks yang disampaikan oleh Steve Jobs, CEO Apple Computer dan Pixar Animation Studios, pada tanggal 12 Juni 2005.
Saya merasa terhormat berada bersama Anda hari ini, pada hari wisuda Anda di salah satu universitas terbaik di dunia. Saya tidak pernah lulus dari perguruan tinggi. Sejujurnya, ini adalah saat terdekat saya merasakan suasana wisuda. Hari ini saya ingin menyampaikan tiga cerita pengalaman hidup saya. Itu saja. Bukan masalah besar. Hanya tiga cerita.
Cerita pertama adalah tentang menghubungkan titik-titik.
Saya drop out dari Reed College setelah 6 bulan pertama, tetapi kemudian tetap tinggal sebagai drop-in selama 18 bulan atau lebih sebelum saya benar-benar berhenti. Jadi, mengapa saya drop out?
Ini dimulai sebelum saya lahir. Ibu kandung saya adalah seorang mahasiswi muda dan belum menikah, dan dia memutuskan untuk memberikan saya kepada seseorang untuk diadopsi. Dia merasa sangat penting bahwa saya harus diadopsi oleh keluarga sarjana, jadi semuanya sudah siap bagi saya untuk diadopsi pada saat lahir oleh seorang pengacara dan istrinya. Kecuali bahwa ketika saya lahir, mereka berubah pikiran pada menit terakhir bahwa mereka ingin bayi perempuan. Maka orang tua angkat saya, yang ada di daftar urut berikutnya mendapatkan telepon di tengah malam yang menanyakan: "Kami memiliki bayi laki-laki yang tak terduga, apakah Anda berminat?"
Mereka berkata: "Tentu saja." Ibu kandung saya, kemudian mengetahui bahwa ibu angkat saya tidak lulus kuliah dan ayah angkat saya tidak lulus SMA. Dia menolak untuk menandatangani surat adopsi akhir. Sikapnya baru melunak beberapa bulan kemudian, ketika orang tua angkat saya berjanji akan menyekolahkan saya sampai perguruan tinggi.
Dan 17 tahun kemudian saya memang pergi ke perguruan tinggi. Tapi saya naif memilih universitas yang hampir sama mahalnya dengan Stanford, sehingga seluruh tabungan "kelas pekerja" orang tua saya habis untuk biaya kuliah saya. Setelah enam bulan, saya tidak bisa melihat nilai di dalamnya. saya tidak tahu apa yang ingin saya lakukan dengan hidup saya dan bagaimana kuliah akan membantu saya menemukannya. Dan di sini saya sudah menghabiskan seluruh tabungan seumur hidup orang tua angkat saya. Jadi saya memutuskan untuk drop out dan percaya bahwa semuanya akan bekerja keluar OK. Saat itu cukup mengerikan, tapi melihat ke belakang itu adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah dibuat. Menit pertama saya drop out saya bisa berhenti mengambil kelas-kelas disyaratkan yang tidak menarik minat saya, dan bisa memulai hal-hal baru yang kelihatan menarik.
Memang tidak semuanya romantis. Saya tidak punya kamar kos sehingga harus nebeng tidur di lantai kamar teman-teman, saya mengembalikan botol coca-cola bekas untuk mendapatkan kembalian 5 sen untuk membeli makanan, dan saya akan berjalan 7 mil melintasi kota setiap Minggu malam untuk mendapatkan seporsi makanan yang pantas setiap seminggu sekali di Kuil Hare Krishna. Saya menyukainya. Dan banyak hal yang saya temui saat itu karena mengikuti rasa penasaran dan intuisi, dan ternyata kemudian sangat berharga. Biarkan saya memberi Anda satu contoh:
Reed College pada waktu itu mengajarkan kaligrafi terbaik, mungkin terbaik di negeri ini. Setiap poster, setiap label di laci adalah kaligrafi indah dibuat dengan tangan. Karena sudah Drop Out dan tidak harus mengambil kelas normal, saya memutuskan untuk mengambil kelas kaligrafi untuk belajar bagaimana membuat kaligrafi. Saya belajar tentang huruf serif dan san serif tipografi, tentang memvariasikan jumlah spasi antara kombinasi huruf yang berbeda, tentang apa yang membuat tipografi yang hebat. Itu indah, bersejarah, artistik halus dalam cara yang berbeda dengan sains, dan saya menemukan hal menarik.
Tak pernah dibayangkan sebelumnya bahwa semua hal tersebut akan dipraktekkan dalam hidup saya. Namun sepuluh tahun kemudian, ketika kami mendisain komputer Macintosh yang pertama, semua kembali kepada saya. Dan kami merancang itu semua ke dalam Mac. Ini adalah komputer pertama dengan tipografi yang indah. Seandainya saya tidak Drop out dan mengambil kelas kaligrafi, Mac tidak akan memiliki tipografi ganda atau spasi huruf proporsional. Dan karena Windows menjiplak Mac, kemungkinan bahwa tidak ada komputer pribadi yang akan memilikinya. Seandainya saya tidak Drop Out, saya tidak akan pernah jatuh di kelas kaligrafi ini, dan PC mungkin tidak akan memiliki tipografi yang indah yang mereka buat. Tentu saja mustahil untuk menghubungkan titik-titik itu sewaktu saya masih kuliah. Tapi itu sangat, sangat gamblang setelah sepuluh tahun kemudian.
Sekali lagi, Anda tidak dapat menghubungkan titik-titik jika hanya melihat ke depan, Anda hanya bisa melakukannya dengan merenung ke belakang. Jadi, Anda harus percaya bahwa titik-titik Anda bagaimana pun akan terangkai di masa mendatang. Anda harus percaya pada sesuatu - intuisi, takdir, hidup, karma, apapun. Pendekatan ini tidak pernah mengecewakan saya, dan itu telah membuat semua perbedaan dalam kehidupan saya.
Cerita kedua saya adalah tentang cinta dan kehilangan.
Saya beruntung - saya menemukan apa yang saya sukai sejak masih muda. Woz dan saya memulai Apple di garasi orang tua saya ketika saya berumur 20. Kami bekerja keras dan dalam 10 tahun Apple berkembang dari hanya kami berdua di garasi menjadi perusahaan 2 milyar dolar dengan 4000 karyawan. Kami baru meluncurkan produk terbaik kami - Macintosh - setahun sebelumnya, dan saya baru menginjak usia 30. Dan saya dipecat. Bagaimana mungkin Anda dipecat dari perusahaan yang Anda dirikan? Yah, seperti pertumbuhan Apple, kami merekrut orang yang saya pikir sangat berkompeten untuk menjalankan perusahaan bersama saya, dan untuk tahun pertama, semua berjalan lancar. Tapi kemudian visi kami mengenai masa depan mulai berbeda dan akhirnya kami sulit disatukan. Ketika itu, Dewan Direksi berpihak padanya. Jadi di usia 30 saya keluar. Dan sangat terbuka keluar. Apa yang menjadi fokus seluruh kehidupan dewasa saya telah hilang, dan itu menghancurkan.
Saya benar-benar tidak tahu apa yang harus lakukan selama beberapa bulan. Saya merasa bahwa saya telah mengecewakan generasi entrepreneur sebelumnya - bahwa saya telah menjatuhkan tongkat seperti yang diturunkan ke saya. Saya bertemu dengan David Packard dan Bob Noyce dan mencoba meminta maaf karena telah mengacaukan begitu buruk. Saya gagal di depan semua orang, dan bahkan berpikir untuk lari dari Silicon Valley. Tapi sesuatu perlahan mulai menyadarkan saya - saya masih menyukai pekerjaan saya. Apa yang terjadi di Apple sedikit pun tidak mengubah hal itu. Saya telah ditolak, namun saya tetap cinta. Jadi saya memutuskan untuk memulai kembali.
Saya belum menyadari pada saat itu, tapi ternyata bahwa dipecat dari Apple adalah kejadian terbaik yang pernah bisa terjadi pada saya. Beban berat sebagai orang sukses tergantikan oleh keleluasaan sebagai pemula lagi, ragu-ragu tentang segalanya. Hal itu mengantarkan saya untuk memasuki salah satu periode paling kreatif dalam hidup saya.
Selama lima tahun berikutnya, saya memulai sebuah perusahaan bernama NeXT, perusahaan lain bernama Pixar, dan jatuh cinta dengan wanita istimewa yang kemudian menjadi istri saya. Pixar bertumbuh menjadi perusahaan yang menciptakan komputer film animasi pertama, Toy Story, dan sekarang merupakan studio animasi paling sukses di dunia. Dalam gilirannya peristiwa luar biasa, Apple membeli NeXT, dan saya kembali ke Apple, dan teknologi yang kami kembangkan di NeXT menjadi jantung bagi kebangkitan kembali Apple. Dan, Laurene dan saya memiliki keluarga yang luar biasa.
Saya cukup yakin semua ini tidak akan terjadi bila saya tidak dipecat dari Apple. Obatnya memang pahit, namun sebagai pasien saya memerlukannya. Terkadang hidup memukul kepala Anda dengan batu bata. Jangan kehilangan keyakinan. Saya yakin bahwa satu-satunya yang membuat saya terus berusaha adalah karena saya menyukai apa yang saya lakukan. Anda harus menemukan apa yang Anda sukai. Benar-benar mencintai pekerjaan anda secara tulus seperti mencintai kekasih anda. Pekerjaan Anda akan mengisi sebagian besar hidup Anda, dan satu-satunya cara untuk benar-benar puas adalah meyakini bahwa pekerjaan anda adalah pekerjaan besar. Dan satu-satunya cara untuk melakukan pekerjaan besar adalah mencintai apa yang Anda lakukan. Jika Anda belum menemukannya, teruslah mencari. Jangan cepat puas. Karena ini adalah masalah perasaan, Anda akan tahu bila Anda telah menemukannya. Dan, seperti hubungan yang hebat, akan semakin baik dan lebih baik lagi bersama tahun yang bergulir. Jadi, teruslah mencari sampai Anda menemukannya. Jangan cepat puas.
Cerita ketiga saya adalah tentang kematian.
Ketika saya berumur 17, saya membaca ungkapan yang kurang lebih berbunyi: "Jika setiap hari Anda hidup seolah-olah itu adalah hari terakhirmu, maka suatu hari Anda akan paling pasti benar" Itu membuat kesan pada saya, dan sejak itu, selama 33 tahun terakhir, saya selalu melihat di cermin setiap pagi dan bertanya kepada diri sendiri: "Bila ini adalah hari terakhir saya, apakah saya ingin melakukan apa yang harus sayalakukan hari ini? " Dan jika jawabannya berhari-hari adalah "tidak" secara berturut-turut, saya tahu saya perlu mengubah sesuatu.
Mengingat bahwa saya akan segera mati adalah alat yang paling penting yang pernah saya temukan untuk membantu membuat keputusan besar dalam hidup. Karena hampir segala sesuatu - semua harapan eksternal, kebanggaan, takut malu atau gagal - hal-hal ini tidak ada artinya saat menghadapi kematian, meninggalkan hanya apa yang benar-benar penting. Mengingat bahwa Anda akan mati adalah cara terbaik yang saya tahu untuk menghindari jebakan berpikir Anda harus kehilangan sesuatu. Anda sudah telanjang. Tidak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hati Anda.
Sekitar setahun yang lalu saya didiagnosis mengidap kanker. Saya menjalani scan pukul 7:30 pagi dan hasilnya jelas menunjukkan saya memiliki tumor pankreas. saya bahkan tidak tahu apa sebuah pankreas. Para dokter mengatakan kepada saya bahwa hampir pasti jenisnya adalah kanker yang tidak dapat disembuhkan, dan bahwa saya harus mengharapkan hidup tidak lebih dari tiga sampai enam bulan. Dokter menyarankan saya pulang ke rumah dan membereskan semua urusan saya, yang merupakan isyarat dokter untuk mempersiapkan kematian. Ini berarti untuk mencoba memberitahu anak-anak Anda, semua hal - yang sebelumnya Anda pikir akan Anda sampaikan selama 10 tahun ke depan - dalam waktu beberapa bulan. Ini berarti untuk memastikan segalanya akan diatur sehingga akan semudah mungkin bagi keluarga Anda. Ini berarti mengucapkan selamat tinggal.
Saya hidup dengan diagnosa itu sepanjang hari. Malam itu saya dibiopsi, di mana mereka memasukkan endoskop ke tenggorokan saya, melalui perut saya dan ke dalam usus saya, menaruh jarum ke pankreas saya dan mendapat beberapa sel dari tumor. Saya dibius, namun istri saya, yang ada di sana, mengatakan bahwa ketika melihat selnya di bawah mikroskop, para dokter mulai menangis karena ternyata menjadi bentuk yang sangat jarang dari kanker pankreas yang dapat disembuhkan dengan operasi. Saya telah dioperasi dan saya baik-baik saja sekarang.
Ini adalah terdekat saya dengan kematian, dan saya berharap itu yang paling dekat saya dapatkan untuk beberapa dekade lagi. Setelah melalui pengalaman tersebut, sekarang saya bisa mengatakan ini dengan yakin kepada Anda, sedikit lebih daripada ketika kematian hanya murni berguna sebagai konsep intelektual:
Tidak ada orang yang ingin mati. Bahkan orang yang ingin masuk surga pun tidak ingin mati dulu untuk mencapainya. Namun kematian adalah tujuan kita semua. Tidak ada yang bisa mengelak. Dan, memang harus demikian, karena kematian adalah buah terbaik dari kehidupan. Ini adalah agen perubahan dalam kehidupan. Kematian membersihkan yang lama untuk membuat jalan bagi yang baru. Sekarang yang baru adalah Anda, tapi suatu hari tidak terlalu lama dari sekarang, Anda secara bertahap akan menjadi tua dan dibersihkan. Maaf bila terlalu dramatis, tetapi ini sangat benar.
Waktu Anda terbatas, jadi jangan sia-siakan hidup sebagai orang lain. Jangan terperangkap dengan dogma - yaitu hidup dengan hasil pemikiran orang lain. Jangan biarkan suara pendapat orang lain menenggelamkan suara batin Anda sendiri. Dan yang paling penting, miliki keberanian untuk mengikuti hati dan intuisi. Entah bagaimana hati dan intuisi Anda sudah tahu apa yang benar-benar Anda inginkan. Selain itu tidak penting.
Ketika saya masih muda, ada sebuah publikasi yang luar biasa disebut The Whole Earth Catalog, yang merupakan salah satu buku wajib dari generasi saya. Buku itu diciptakan oleh seorang bernama Stewart Brand yang tinggal tidak jauh dari sini, di Menlo Park, dan dia membuatnya sedemikian menarik dengan sentuhan puitisnya. Ini adalah akhir 1960-an, sebelum era komputer dan desktop publishing, jadi semuanya dibuat dengan mesin tik, gunting, dan kamera polaroid. Itu seperti Google dalam bentuk kertas, 35 tahun sebelum kelahiran Google: isinya idealis, dan penuh dengan alat-alat rapi dan ungkapan-ungkapan hebat.
Stewart dan timnya sempat menerbitkan beberapa edisi The Whole Earth Catalog, dan ketika mencapai akhirnya, mereka membuat edisi final. Saat itu pertengahan 1970-an, dan saya masih seusia Anda. Di sampul belakang edisi terakhir itu ada satu foto jalan pedesaan di pagi hari, di mana Anda bisa menumpang kendaraan jika Anda tipe petualang. Di bawahnya ada kata-kata: "Stay Hungry Stay Foolish" Itu adalah pesan perpisahan mereka . Stay Hungry. Stay foolish. Dan saya selalu mengharapkan diri saya seperti itu. Dan sekarang, karena Anda akan lulus untuk memulai kehidupan baru, saya juga mendoakan Anda.
Stay Hungry. Stay Foolish.
Thank you all very much.
Terjemahan dari http://news.stanford.edu/news/2005/june15/jobs-061505.html
Rabu, 05 Oktober 2011
Dr. Theodore Stoddard
There is a story many years ago of an elementary teacher. Her name was Mrs. Thompson. And as she stood in front of her fifth grade class on the very first day of school, she told the children a lie ?
Like most teachers, she looked at her students and said that She loved them all the same ? But that was impossible,because there in the front row, slumped in his seat, was a little boy named Teddy Stoddard. Mrs. Thompson had watched Teddy the year before and noticed that he didn't play well with the other children, that his clothes were messy and that he constantly needed a bath. And Teddy could be unpleasant. It got to the point where Mrs. Thompson would actually take delight in marking his papers with a broad red pen, making bold X's and then putting a big "F" at the top of his papers.
At the school where Mrs. Thompson taught, she was required to review each child's past records and she put Teddy's off until last. However, when she reviewed his file, she was in for a surprise. Teddy's first grade Teacher wrote, "Teddy is a bright child with a ready laugh. He does his work neatly and has good manners...he is a joy to be around." His second grade teacher wrote, "Teddy is an excellent student, well liked by his classmates, but he is troubled because his mother has a terminal illness and life at home must be a struggle." His third grade teacher wrote, "His mother's death has been hard on him. He tries to do his best but his father doesn't show much interest and his home life will soon affect him if some steps aren't taken." Teddy's fourth grade teacher wrote, "Teddy is withdrawn and doesn't show much interest in school. He doesn't have many friends and sometimes sleeps in class."
By now, Mrs. Thompson realized the problem and she was ashamed of herself. She felt even worse when her students brought her Christmas presents, wrapped in beautiful ribbons and bright paper, except for Teddy's. His present was clumsily wrapped in the heavy, brown paper that he got from a grocery bag. Mrs. Thompson took pains to open it in the middle of the other presents. Some of the children started to laugh when she found a rhinestone bracelet with some of the stones missing and a bottle that was one quarter full of perfume. But she stifled the children's laughter when she exclaimed, how pretty the bracelet was. She put it on and dabbed some of the perfume on her wrist. Teddy Stoddard stayed after school that day just long enough to say, "Mrs. Thompson, today you smelled just like my Mom used to." After the children left she cried for at least an hour. On that very day, she quit teaching reading, writing, and arithmetic. Instead, she began to teach children. Mrs. Thompson paid particular attention to Teddy. As she worked with him, his mind seemed to come alive. The more she encouraged him, the faster he responded. By the end of the year, Teddy had become one of the smartest children in the class and, despite her lie that she would love all the children the same, Teddy became one of her "pets."
A year later, she found a note under her door, from Teddy, telling her that she was still the best teacher he ever had in his whole life. Six years went by before she got another note from Teddy. He then wrote that he had finished high school, third in his class, and she was still the best teacher he ever had in his whole life. Four years after that, she got another letter, saying that while things had been tough at times, he stayed in school, had stuck with it, and would soon graduate from college with the highest of honors. He assured Mrs.Thompson that she was still the best and favorite teacher he ever had in his whole life.
Then four more years passed and yet another letter came. This time he explained that after he got his bachelor's degree, he decided to go a little further. The letter explained that she was still the best and favorite teacher he ever had. But now his name was a little longer. The letter was signed, Theodore F. Stoddard, MD.
The story doesn't end there. You see, there was yet another letter that spring. Teddy said he'd met this girl and was going to be married. He explained that his father had died a couple of years ago and he was wondering if Mrs. Thompson might agree to sit in the place at the wedding that was usually reserved for the mother of the groom. Of course, Mrs. Thompson did. And guess what? She wore that bracelet, the one with several rhinestones missing. And she made sure she was wearing the perfume that Teddy remembered his mother wearing on their last Christmas together.
They hugged each other, and Dr. Stoddard whispered in Mrs. Thompson's ear, "Thank you, Mrs. Thompson, for believing in me. Thank you so much for making me feel important and showing me that I could make a difference." Mrs. Thompson, with tears in her eyes, whispered back. She said, "Teddy, you have it all wrong. You were the one who taught me that I could make a difference. I didn't know how to teach until I met you."
Warm someone's heart today. Never underestimate the Power of Purpose.
Langganan:
Postingan (Atom)