Selasa, 11 Oktober 2011

If you can survive, you must remember that I love you

This is a true story of a Mother’s Sacrifice during the China Earthquake.

After the Earthquake had subsided, when the rescuers reached the ruins of a young woman’s house, they saw her dead body through the cracks. But her pose was somehow strange that she knelt on her knees like a person was worshiping; her body was leaning forward, and her two hands were supporting by an object. The collapsed house had crashed her back and her head.

With so many difficulties, the leader of the rescuer team put his hand through a narrow gap on the wall to reach the woman’s body. He was hoping that this woman could be still alive. However, the cold and stiff body told him that she had passed away for sure.

He and the rest of the team left this house and were going to search the next collapsed building. For some reasons, the team leader was driven by a compelling force to go back to the ruin house of the dead woman. Again, he knelt down and used his had through the narrow cracks to search the little space under the dead body. Suddenly, he screamed with excitement, “A child ! There is a child !

The whole team worked together; carefully they removed the piles of ruined objects around the dead woman. There was a 3 months old little boy wrapped in a flowery blanket under his mother’s dead body. Obviously, the woman had made an ultimate sacrifice for saving her son. When her house was falling, she used her body to make a cover to protect her son. The little boy was still sleeping peacefully when the team leader picked him up.

The medical doctor came quickly to exam the little boy. After he opened the blanket, he saw a cell phone inside the blanket. There was a text message on the screen. It said, “If you can survive, you must remember that I love you.” This cell phone was passing around from one hand to another. Every body that read the message wept. “If you can survive, you must remember that I love you.” Such is the mother’s love for her child !!

Minggu, 09 Oktober 2011

I have learned...

I’ve learned-
that you cannot make someone love you. All you can do is be someone who can be loved. The rest is up to them.

I’ve learned-
that no matter how much I care, some people just don’t care back.

I’ve learned-
that it takes years to build up trust, and only seconds to destroy it.

I’ve learned-
that no matter how good a friend is, they’re going to hurt you every once in a while and you must forgive them for that.

I’ve learned-
that it’s not what you have in your life but who you have in your life that counts.

I’ve learned-
that you should never ruin an apology with an excuse.

I’ve learned-
that you can get by on charm for about fifteen minutes. After that, you’d better know something.

I’ve learned-
that you shouldn’t compare yourself to the best others can do.

I’ve learned-
that you can do something in an instant that will give you heartache for life.

I’ve learned-
that it’s taking me a long time to become the person I want to be.

I’ve learned-
that you should always leave loved ones with loving words. It may be the last time you see them.

I’ve learned-
that you can keep going long after you can’t.

I’ve learned-
that we are responsible for what we do, no matter how we feel.

I’ve learned-
that either you control your attitude or it controls you.

I’ve learned-
that regardless of how hot and steamy a relationship is at first, the passion fades and there had better be something else to take its place.

I’ve learned-
that heroes are the people who do what has to be done when it needs to be done, regardless of the consequences.

I’ve learned-
that money is a lousy way of keeping score.

I’ve learned-
that my best friend and I can do anything or nothing and have the best time.

I’ve learned-
that sometimes the people you expect to kick you when you’re down will be the ones to help you get back up.

I’ve learned-
that sometimes when I’m angry I have the right to be angry, but that doesn’t give me the right to be cruel.

I’ve learned-
that true friendship continues to grow, even over the longest distance. Same goes for true love.

I’ve learned-
that just because someone doesn’t love you the way you want them to doesn’t mean they don’t love you with all they have.

I’ve learned-
that maturity has more to do with what types of experiences you’ve had and what you’ve learned from them and less to do with how many birthdays you’ve celebrated.

I’ve learned-
that you should never tell a child their dreams are unlikely or outlandish. Few things are more humiliating, and what a tragedy it would be if they believed it.

I’ve learned-
that your family won’t always be there for you. It may seem funny, but people you aren’t related to can take care of you and love you and teach you to trust people again. Families aren’t biological.

I’ve learned-
that it isn’t always enough to be forgiven by others. Sometimes you are to learn to forgive yourself.

I’ve learned-
that no matter how bad your heart is broken the world doesn’t stop for your grief.

I’ve learned-
that our background and circumstances may have influenced who we are, but we are responsible for who we become.

I’ve learned-
that a rich person is not the one who has the most, but is one who needs the least.

I’ve learned-
that just because two people argue, it doesn’t mean they don’t love each other. And just because they don’t argue, it doesn’t mean they do.

I’ve learned-
that we don’t have to change friends if we understand that friends change.

I’ve learned-
that you shouldn’t be so eager to find out a secret. It could change your life forever.

I’ve learned-
that two people can look at the exact same thing and see something totally different.

I’ve learned-
that no matter how you try to protect your children, they will eventually get hurt and you will hurt in the process.

I’ve learned-
that even when you think you have no more to give, when a friend cries out to you, you will find the strength to help.

I’ve learned-
that credentials on the wall do not make you a decent human being.

I’ve learned-
that the people you care about most in life are taken from you too soon.

I’ve learned-
that it’s hard to determine where to draw the line between being nice and not hurting people’s feelings, and standing up for what you believe.

I’ve learned-
that people will forget what you said, and people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel.

Rumah Makan "ARI"

Rumah Makan "ARI" terletak di Kampung Sawah Brebes, menyediakan menu masakan ayam goreng, lele goreng, tongkol, telur ayam serta aneka juice.

Sabtu, 08 Oktober 2011

Steve Jobs: "Anda harus menemukan apa yang Anda cintai"

Sejak pagi tadi CNN non-stop menyiarkan acara mengenang Steve Jobs, salah satunya adalah cuplikan pidato terkenal Jobs pada acara wisuda di Standford University (a forward from milis).

Stanford Report, June 14, 2005
Steve Jobs: "Anda harus menemukan apa yang Anda cintai"

Ini adalah teks yang disampaikan oleh Steve Jobs, CEO Apple Computer dan Pixar Animation Studios, pada tanggal 12 Juni 2005.

Saya merasa terhormat berada bersama Anda hari ini, pada hari wisuda Anda di salah satu universitas terbaik di dunia. Saya tidak pernah lulus dari perguruan tinggi. Sejujurnya, ini adalah saat terdekat saya merasakan suasana wisuda. Hari ini saya ingin menyampaikan tiga cerita pengalaman hidup saya. Itu saja. Bukan masalah besar. Hanya tiga cerita.

Cerita pertama adalah tentang menghubungkan titik-titik.

Saya drop out dari Reed College setelah 6 bulan pertama, tetapi kemudian tetap tinggal sebagai drop-in selama 18 bulan atau lebih sebelum saya benar-benar berhenti. Jadi, mengapa saya drop out?

Ini dimulai sebelum saya lahir. Ibu kandung saya adalah seorang mahasiswi muda dan belum menikah, dan dia memutuskan untuk memberikan saya kepada seseorang untuk diadopsi. Dia merasa sangat penting bahwa saya harus diadopsi oleh keluarga sarjana, jadi semuanya sudah siap bagi saya untuk diadopsi pada saat lahir oleh seorang pengacara dan istrinya. Kecuali bahwa ketika saya lahir, mereka berubah pikiran pada menit terakhir bahwa mereka ingin bayi perempuan. Maka orang tua angkat saya, yang ada di daftar urut berikutnya mendapatkan telepon di tengah malam yang menanyakan: "Kami memiliki bayi laki-laki yang tak terduga, apakah Anda berminat?"
Mereka berkata: "Tentu saja." Ibu kandung saya, kemudian mengetahui bahwa ibu angkat saya tidak lulus kuliah dan ayah angkat saya tidak lulus SMA. Dia menolak untuk menandatangani surat adopsi akhir. Sikapnya baru melunak beberapa bulan kemudian, ketika orang tua angkat saya berjanji akan menyekolahkan saya sampai perguruan tinggi.

Dan 17 tahun kemudian saya memang pergi ke perguruan tinggi. Tapi saya naif memilih universitas yang hampir sama mahalnya dengan Stanford, sehingga seluruh tabungan "kelas pekerja" orang tua saya habis untuk biaya kuliah saya. Setelah enam bulan, saya tidak bisa melihat nilai di dalamnya. saya tidak tahu apa yang ingin saya lakukan dengan hidup saya dan bagaimana kuliah akan membantu saya menemukannya. Dan di sini saya sudah menghabiskan seluruh tabungan seumur hidup orang tua angkat saya. Jadi saya memutuskan untuk drop out dan percaya bahwa semuanya akan bekerja keluar OK. Saat itu cukup mengerikan, tapi melihat ke belakang itu adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah dibuat. Menit pertama saya drop out saya bisa berhenti mengambil kelas-kelas disyaratkan yang tidak menarik minat saya, dan bisa memulai hal-hal baru yang kelihatan menarik.

Memang tidak semuanya romantis. Saya tidak punya kamar kos sehingga harus nebeng tidur di lantai kamar teman-teman, saya mengembalikan botol coca-cola bekas untuk mendapatkan kembalian 5 sen untuk membeli makanan, dan saya akan berjalan 7 mil melintasi kota setiap Minggu malam untuk mendapatkan seporsi makanan yang pantas setiap seminggu sekali di Kuil Hare Krishna. Saya menyukainya. Dan banyak hal yang saya temui saat itu karena mengikuti rasa penasaran dan intuisi, dan ternyata kemudian sangat berharga. Biarkan saya memberi Anda satu contoh:

Reed College pada waktu itu mengajarkan kaligrafi terbaik, mungkin terbaik di negeri ini. Setiap poster, setiap label di laci adalah kaligrafi indah dibuat dengan tangan. Karena sudah Drop Out dan tidak harus mengambil kelas normal, saya memutuskan untuk mengambil kelas kaligrafi untuk belajar bagaimana membuat kaligrafi. Saya belajar tentang huruf serif dan san serif tipografi, tentang memvariasikan jumlah spasi antara kombinasi huruf yang berbeda, tentang apa yang membuat tipografi yang hebat. Itu indah, bersejarah, artistik halus dalam cara yang berbeda dengan sains, dan saya menemukan hal menarik.

Tak pernah dibayangkan sebelumnya bahwa semua hal tersebut akan dipraktekkan dalam hidup saya. Namun sepuluh tahun kemudian, ketika kami mendisain komputer Macintosh yang pertama, semua kembali kepada saya. Dan kami merancang itu semua ke dalam Mac. Ini adalah komputer pertama dengan tipografi yang indah. Seandainya saya tidak Drop out dan mengambil kelas kaligrafi, Mac tidak akan memiliki tipografi ganda atau spasi huruf proporsional. Dan karena Windows menjiplak Mac, kemungkinan bahwa tidak ada komputer pribadi yang akan memilikinya. Seandainya saya tidak Drop Out, saya tidak akan pernah jatuh di kelas kaligrafi ini, dan PC mungkin tidak akan memiliki tipografi yang indah yang mereka buat. Tentu saja mustahil untuk menghubungkan titik-titik itu sewaktu saya masih kuliah. Tapi itu sangat, sangat gamblang setelah sepuluh tahun kemudian.

Sekali lagi, Anda tidak dapat menghubungkan titik-titik jika hanya melihat ke depan, Anda hanya bisa melakukannya dengan merenung ke belakang. Jadi, Anda harus percaya bahwa titik-titik Anda bagaimana pun akan terangkai di masa mendatang. Anda harus percaya pada sesuatu - intuisi, takdir, hidup, karma, apapun. Pendekatan ini tidak pernah mengecewakan saya, dan itu telah membuat semua perbedaan dalam kehidupan saya.

Cerita kedua saya adalah tentang cinta dan kehilangan.

Saya beruntung - saya menemukan apa yang saya sukai sejak masih muda. Woz dan saya memulai Apple di garasi orang tua saya ketika saya berumur 20. Kami bekerja keras dan dalam 10 tahun Apple berkembang dari hanya kami berdua di garasi menjadi perusahaan 2 milyar dolar dengan 4000 karyawan. Kami baru meluncurkan produk terbaik kami - Macintosh - setahun sebelumnya, dan saya baru menginjak usia 30. Dan saya dipecat. Bagaimana mungkin Anda dipecat dari perusahaan yang Anda dirikan? Yah, seperti pertumbuhan Apple, kami merekrut orang yang saya pikir sangat berkompeten untuk menjalankan perusahaan bersama saya, dan untuk tahun pertama, semua berjalan lancar. Tapi kemudian visi kami mengenai masa depan mulai berbeda dan akhirnya kami sulit disatukan. Ketika itu, Dewan Direksi berpihak padanya. Jadi di usia 30 saya keluar. Dan sangat terbuka keluar. Apa yang menjadi fokus seluruh kehidupan dewasa saya telah hilang, dan itu menghancurkan.

Saya benar-benar tidak tahu apa yang harus lakukan selama beberapa bulan. Saya merasa bahwa saya telah mengecewakan generasi entrepreneur sebelumnya - bahwa saya telah menjatuhkan tongkat seperti yang diturunkan ke saya. Saya bertemu dengan David Packard dan Bob Noyce dan mencoba meminta maaf karena telah mengacaukan begitu buruk. Saya gagal di depan semua orang, dan bahkan berpikir untuk lari dari Silicon Valley. Tapi sesuatu perlahan mulai menyadarkan saya - saya masih menyukai pekerjaan saya. Apa yang terjadi di Apple sedikit pun tidak mengubah hal itu. Saya telah ditolak, namun saya tetap cinta. Jadi saya memutuskan untuk memulai kembali.

Saya belum menyadari pada saat itu, tapi ternyata bahwa dipecat dari Apple adalah kejadian terbaik yang pernah bisa terjadi pada saya. Beban berat sebagai orang sukses tergantikan oleh keleluasaan sebagai pemula lagi, ragu-ragu tentang segalanya. Hal itu mengantarkan saya untuk memasuki salah satu periode paling kreatif dalam hidup saya.

Selama lima tahun berikutnya, saya memulai sebuah perusahaan bernama NeXT, perusahaan lain bernama Pixar, dan jatuh cinta dengan wanita istimewa yang kemudian menjadi istri saya. Pixar bertumbuh menjadi perusahaan yang menciptakan komputer film animasi pertama, Toy Story, dan sekarang merupakan studio animasi paling sukses di dunia. Dalam gilirannya peristiwa luar biasa, Apple membeli NeXT, dan saya kembali ke Apple, dan teknologi yang kami kembangkan di NeXT menjadi jantung bagi kebangkitan kembali Apple. Dan, Laurene dan saya memiliki keluarga yang luar biasa.

Saya cukup yakin semua ini tidak akan terjadi bila saya tidak dipecat dari Apple. Obatnya memang pahit, namun sebagai pasien saya memerlukannya. Terkadang hidup memukul kepala Anda dengan batu bata. Jangan kehilangan keyakinan. Saya yakin bahwa satu-satunya yang membuat saya terus berusaha adalah karena saya menyukai apa yang saya lakukan. Anda harus menemukan apa yang Anda sukai. Benar-benar mencintai pekerjaan anda secara tulus seperti mencintai kekasih anda. Pekerjaan Anda akan mengisi sebagian besar hidup Anda, dan satu-satunya cara untuk benar-benar puas adalah meyakini bahwa pekerjaan anda adalah pekerjaan besar. Dan satu-satunya cara untuk melakukan pekerjaan besar adalah mencintai apa yang Anda lakukan. Jika Anda belum menemukannya, teruslah mencari. Jangan cepat puas. Karena ini adalah masalah perasaan, Anda akan tahu bila Anda telah menemukannya. Dan, seperti hubungan yang hebat, akan semakin baik dan lebih baik lagi bersama tahun yang bergulir. Jadi, teruslah mencari sampai Anda menemukannya. Jangan cepat puas.

Cerita ketiga saya adalah tentang kematian.

Ketika saya berumur 17, saya membaca ungkapan yang kurang lebih berbunyi: "Jika setiap hari Anda hidup seolah-olah itu adalah hari terakhirmu, maka suatu hari Anda akan paling pasti benar" Itu membuat kesan pada saya, dan sejak itu, selama 33 tahun terakhir, saya selalu melihat di cermin setiap pagi dan bertanya kepada diri sendiri: "Bila ini adalah hari terakhir saya, apakah saya ingin melakukan apa yang harus sayalakukan hari ini? " Dan jika jawabannya berhari-hari adalah "tidak" secara berturut-turut, saya tahu saya perlu mengubah sesuatu.

Mengingat bahwa saya akan segera mati adalah alat yang paling penting yang pernah saya temukan untuk membantu membuat keputusan besar dalam hidup. Karena hampir segala sesuatu - semua harapan eksternal, kebanggaan, takut malu atau gagal - hal-hal ini tidak ada artinya saat menghadapi kematian, meninggalkan hanya apa yang benar-benar penting. Mengingat bahwa Anda akan mati adalah cara terbaik yang saya tahu untuk menghindari jebakan berpikir Anda harus kehilangan sesuatu. Anda sudah telanjang. Tidak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hati Anda.

Sekitar setahun yang lalu saya didiagnosis mengidap kanker. Saya menjalani scan pukul 7:30 pagi dan hasilnya jelas menunjukkan saya memiliki tumor pankreas. saya bahkan tidak tahu apa sebuah pankreas. Para dokter mengatakan kepada saya bahwa hampir pasti jenisnya adalah kanker yang tidak dapat disembuhkan, dan bahwa saya harus mengharapkan hidup tidak lebih dari tiga sampai enam bulan. Dokter menyarankan saya pulang ke rumah dan membereskan semua urusan saya, yang merupakan isyarat dokter untuk mempersiapkan kematian. Ini berarti untuk mencoba memberitahu anak-anak Anda, semua hal - yang sebelumnya Anda pikir akan Anda sampaikan selama 10 tahun ke depan - dalam waktu beberapa bulan. Ini berarti untuk memastikan segalanya akan diatur sehingga akan semudah mungkin bagi keluarga Anda. Ini berarti mengucapkan selamat tinggal.

Saya hidup dengan diagnosa itu sepanjang hari. Malam itu saya dibiopsi, di mana mereka memasukkan endoskop ke tenggorokan saya, melalui perut saya dan ke dalam usus saya, menaruh jarum ke pankreas saya dan mendapat beberapa sel dari tumor. Saya dibius, namun istri saya, yang ada di sana, mengatakan bahwa ketika melihat selnya di bawah mikroskop, para dokter mulai menangis karena ternyata menjadi bentuk yang sangat jarang dari kanker pankreas yang dapat disembuhkan dengan operasi. Saya telah dioperasi dan saya baik-baik saja sekarang.

Ini adalah terdekat saya dengan kematian, dan saya berharap itu yang paling dekat saya dapatkan untuk beberapa dekade lagi. Setelah melalui pengalaman tersebut, sekarang saya bisa mengatakan ini dengan yakin kepada Anda, sedikit lebih daripada ketika kematian hanya murni berguna sebagai konsep intelektual:

Tidak ada orang yang ingin mati. Bahkan orang yang ingin masuk surga pun tidak ingin mati dulu untuk mencapainya. Namun kematian adalah tujuan kita semua. Tidak ada yang bisa mengelak. Dan, memang harus demikian, karena kematian adalah buah terbaik dari kehidupan. Ini adalah agen perubahan dalam kehidupan. Kematian membersihkan yang lama untuk membuat jalan bagi yang baru. Sekarang yang baru adalah Anda, tapi suatu hari tidak terlalu lama dari sekarang, Anda secara bertahap akan menjadi tua dan dibersihkan. Maaf bila terlalu dramatis, tetapi ini sangat benar.

Waktu Anda terbatas, jadi jangan sia-siakan hidup sebagai orang lain. Jangan terperangkap dengan dogma - yaitu hidup dengan hasil pemikiran orang lain. Jangan biarkan suara pendapat orang lain menenggelamkan suara batin Anda sendiri. Dan yang paling penting, miliki keberanian untuk mengikuti hati dan intuisi. Entah bagaimana hati dan intuisi Anda sudah tahu apa yang benar-benar Anda inginkan. Selain itu tidak penting.

Ketika saya masih muda, ada sebuah publikasi yang luar biasa disebut The Whole Earth Catalog, yang merupakan salah satu buku wajib dari generasi saya. Buku itu diciptakan oleh seorang bernama Stewart Brand yang tinggal tidak jauh dari sini, di Menlo Park, dan dia membuatnya sedemikian menarik dengan sentuhan puitisnya. Ini adalah akhir 1960-an, sebelum era komputer dan desktop publishing, jadi semuanya dibuat dengan mesin tik, gunting, dan kamera polaroid. Itu seperti Google dalam bentuk kertas, 35 tahun sebelum kelahiran Google: isinya idealis, dan penuh dengan alat-alat rapi dan ungkapan-ungkapan hebat.

Stewart dan timnya sempat menerbitkan beberapa edisi The Whole Earth Catalog, dan ketika mencapai akhirnya, mereka membuat edisi final. Saat itu pertengahan 1970-an, dan saya masih seusia Anda. Di sampul belakang edisi terakhir itu ada satu foto jalan pedesaan di pagi hari, di mana Anda bisa menumpang kendaraan jika Anda tipe petualang. Di bawahnya ada kata-kata: "Stay Hungry Stay Foolish" Itu adalah pesan perpisahan mereka . Stay Hungry. Stay foolish. Dan saya selalu mengharapkan diri saya seperti itu. Dan sekarang, karena Anda akan lulus untuk memulai kehidupan baru, saya juga mendoakan Anda.

Stay Hungry. Stay Foolish.

Thank you all very much.

Terjemahan dari http://news.stanford.edu/news/2005/june15/jobs-061505.html

Kamis, 06 Oktober 2011

Menu di The Core, Universiti Brunei Darussalam




Steve Jobs, Apple’s Visionary, Dies at 56

Steven P. Jobs, the visionary co-founder of Apple who helped usher in the era of personal computers and then led a cultural transformation in the way music, movies and mobile communications were experienced in the digital age, died Wednesday. He was 56. 
 The death was announced by Apple, the company Mr. Jobs and his high school friend Stephen Wozniak started in 1976 in a suburban California garage.
A friend of the family said that Mr. Jobs died of complications from pancreatic cancer, with which he waged a long and public struggle, remaining the face of the company even as he underwent treatment. He continued to introduce new products for a global market in his trademark blue jeans even as he grew gaunt and frail.
He underwent surgery in 2004, received a liver transplant in 2009 and took three medical leaves of absence as Apple’s chief executive before stepping down in August and turning over the helm to Timothy D. Cook, the chief operating officer. When he left, he was still engaged in the company’s affairs, negotiating with another Silicon Valley executive only weeks earlier.
“I have always said that if there ever came a day when I could no longer meet my duties and expectations as Apple’s C.E.O., I would be the first to let you know,” Mr. Jobs said in a letter released by the company. “Unfortunately, that day has come.”
By then, having mastered digital technology and capitalized on his intuitive marketing sense, Mr. Jobs had largely come to define the personal computer industry and an array of digital consumer and entertainment businesses centered on the Internet. He had also become a very rich man, worth an estimated $8.3 billion.
Tributes to Mr. Jobs flowed quickly on Wednesday evening, in formal statements and in the flow of social networks, with President Obama, technology industry leaders and legions of Apple fans weighing in.
A Twitter user named Matt Galligan wrote: “R.I.P. Steve Jobs. You touched an ugly world of technology and made it beautiful.”
Eight years after founding Apple, Mr. Jobs led the team that designed the Macintosh computer, a breakthrough in making personal computers easier to use. After a 12-year separation from the company, prompted by a bitter falling-out with his chief executive, John Sculley, he returned in 1997 to oversee the creation of one innovative digital device after another — the iPod, the iPhone and the iPad. These transformed not only product categories like music players and cellphones but also entire industries, like music and mobile communications.
During his years outside Apple, he bought a tiny computer graphics spinoff from the director George Lucas and built a team of computer scientists, artists and animators that became Pixar Animation Studios.
Starting with “Toy Story” in 1995, Pixar produced a string of hit movies, won several Academy Awards for artistic and technological excellence, and made the full-length computer-animated film a mainstream art form enjoyed by children and adults worldwide.
Mr. Jobs was neither a hardware engineer nor a software programmer, nor did he think of himself as a manager. He considered himself a technology leader, choosing the best people possible, encouraging and prodding them, and making the final call on product design.
It was an executive style that had evolved. In his early years at Apple, his meddling in tiny details maddened colleagues, and his criticism could be caustic and even humiliating. But he grew to elicit extraordinary loyalty.
“He was the most passionate leader one could hope for, a motivating force without parallel,” wrote Steven Levy, author of the 1994 book “Insanely Great,” which chronicles the creation of the Mac. “Tom Sawyer could have picked up tricks from Steve Jobs.”
“Toy Story,” for example, took four years to make while Pixar struggled, yet Mr. Jobs never let up on his colleagues. “‘You need a lot more than vision — you need a stubbornness, tenacity, belief and patience to stay the course,” said Edwin Catmull, a computer scientist and a co-founder of Pixar. “In Steve’s case, he pushes right to the edge, to try to make the next big step forward.”
Mr. Jobs was the ultimate arbiter of Apple products, and his standards were exacting. Over the course of a year he tossed out two iPhone prototypes, for example, before approving the third, and began shipping it in June 2007. 

Read more: http://www.nytimes.com/2011/10/06/business/steve-jobs-of-apple-dies-at-56.html?_r=1&pagewanted=all%3Fsrc%3Dtp&smid=fb-share

Rabu, 05 Oktober 2011

Dr. Theodore Stoddard

There is a story many years ago of an elementary teacher. Her name was Mrs. Thompson. And as she stood in front of her fifth grade class on the very  first day of school, she told the children a lie ?
Like most teachers, she looked at her students and said that She loved them all the same ? But that was impossible,because there in the front row, slumped  in his seat, was a little boy named Teddy Stoddard. Mrs. Thompson had watched Teddy the year before and noticed that he didn't play well with the other children, that his clothes were messy and that he constantly needed a bath. And Teddy could be unpleasant. It got to the point where Mrs. Thompson would actually take delight in marking his papers with a broad red pen, making bold X's and then putting a big "F" at the top of his papers.

At the school where Mrs. Thompson taught, she was required to review each child's past records and she put Teddy's off until last. However, when she reviewed his file, she was in for a surprise. Teddy's first grade Teacher wrote, "Teddy is a bright child with a ready laugh. He does his work neatly  and has good manners...he is a joy to be around." His second grade teacher wrote, "Teddy is an excellent student, well liked by his classmates, but he is troubled because his mother has a terminal illness and life at home must be a struggle." His third grade teacher wrote, "His mother's death has been hard on him. He tries to do his best but his father doesn't show much interest and his home life will soon affect him if some steps aren't taken." Teddy's fourth grade teacher wrote, "Teddy is withdrawn and doesn't show much interest in school. He doesn't have many friends and sometimes sleeps in class."

By now, Mrs. Thompson realized the problem and she was ashamed of herself. She felt even worse when her students brought her Christmas presents, wrapped in beautiful ribbons and bright paper, except for Teddy's. His present was  clumsily wrapped in the heavy, brown paper that he got from a grocery bag. Mrs. Thompson took pains to open it in the middle of the other presents. Some of the children started to laugh when she found a rhinestone bracelet with some of the stones missing and a bottle that was one quarter full of perfume. But she stifled the children's laughter when she exclaimed, how pretty the bracelet was. She put it on and dabbed some of the perfume on her wrist. Teddy Stoddard stayed after school that day just long enough to say, "Mrs. Thompson, today you smelled just like my Mom used to." After the children left she cried for at least an hour. On that very day, she quit teaching reading, writing, and arithmetic. Instead, she began to teach children. Mrs. Thompson paid particular attention to Teddy. As she worked with him, his mind seemed to come alive. The more she encouraged him, the faster he responded. By the end of the year, Teddy had become one of the smartest children in the class and, despite her lie that she would love all the children the same, Teddy became one of her "pets."

A year later, she found a note under her door, from Teddy, telling her that she was still the best teacher he ever had in his whole life. Six years went by before she got another note from Teddy. He then wrote that he had finished high school, third in his class, and she was still the best teacher he ever  had in his whole life. Four years after that, she got another letter, saying that while things had been tough at times, he stayed in school, had stuck with it, and would soon graduate from college with the highest of honors. He assured Mrs.Thompson that she was still the best and favorite teacher he ever had in his whole life.

Then four more years passed and yet another letter came. This time he explained that after he got his bachelor's degree, he decided to go a little further. The letter explained that she was still the best and favorite  teacher he ever had. But now his name was a little longer. The letter was signed, Theodore F. Stoddard, MD.

The story doesn't end there. You see, there was yet another letter that spring. Teddy said he'd met this girl and was going to be married. He explained that his father had died a couple of years ago and he was wondering if Mrs. Thompson might agree to sit in the place at the wedding that was  usually reserved for the mother of the groom. Of course, Mrs. Thompson did. And guess what? She wore that bracelet, the one with several rhinestones missing. And she made sure she was wearing the perfume that Teddy remembered his mother wearing on their last Christmas together.
They hugged each other, and Dr. Stoddard whispered in Mrs. Thompson's ear, "Thank you, Mrs. Thompson, for believing in me. Thank you so much for making me feel important and showing me that I could make a difference." Mrs. Thompson, with tears in her eyes, whispered back. She said, "Teddy, you have it all wrong. You were the one who taught me that I could make a difference.  I didn't know how to teach until I met you."


Warm someone's heart today. Never underestimate the Power of Purpose.